Wednesday, December 19, 2018

Dari "Sapi Hutan" Kita Dapat Manfaat

DARI “SAPI HUTAN”, KITA DAPAT MANFAAT

Data kebutuhan daging sapi untuk konsumsi nasional tahun 2017 sebagaimana dimuat harian “KOMPAS” edisi tanggal 22 Juni 2017 sebanyak 604.968 ton, sedangkan produksi daging sapi dalam negeri “hanya” sebanyak 354.770 ton, sehingga kekurangan pasokan sebanyak 250.198 ton, dan untuk memenuhinya ditutupi dengan daging sapi import.
Begitu pun dengan kondisi di tahun 2018, nyaris sama, kebutuhan daging sapi untuk konsumsi nasional tahun 2018 sebagaimana dimuat harian “KONTAN” edisi tanggal 15 Februari 2018 diperkirakan sebanyak 663.290 ton, sedangkan produksi daging sapi dalam negeri diperkirakan “hanya” mampu menyediakan pasokan sebanyak 403.668 ton, sehingga masih kekurangan pasokan sebanyak 259.622 ton, dan untuk memenuhinya sepertinya masih akan dengan daging sapi import.
Bahwa produksi daging sapi dalam negeri belum bisa mencukupi kebutuhan nasional, defisit di kisaran angka sekitar 40%. Beberapa literatur menyebutkan bahwa kendala pengembangan produksi sapi nasional salah satunya adalah terbatasnya lahan terutama lahan untuk penggembalaan, selain kendala-kendala lainnya misalnya aspek permodalan karena akses kredit perbankan yang masih sulit ditembus oleh para peternak (terutama peternak kecil).
Gambar : google image
Berkenaan dengan masalah lahan, sebenarnya sejak tahun 2009 Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan) telah menerbitkan regulasi yang mengatur mengenai pemanfaatan kawasan hutan produksi untuk kegiatan ternak yaitu dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menut-II/2009 (P.63/2009) tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvopastura pada Hutan Produksi (IUPK-SP). Dalam regulasi tersebut diatur tentang pemanfaatan kawasan hutan (produksi) untuk usaha ternak (silvopastura), terutama di kawsan Hutan Produksi yang tidak produktif (semak belukar).
IUPK-SP dimaksud dapat diberikan kepada peternak pemohon perorangan atau koperasi atau Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI) atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Regulasi terbaru mengenai silvopastura yang kini berlaku diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/Menlhk-II/2015 (P.14/2015). Dalam regulasi yang baru ini diatur mengenai sumber permodalan yang dapat berasal dari investor luar negeri.
Dengan skema yang diatur dalam P.14/2015, peternak (khususnya korporasi besar) bisa menguasai lahan seluas 500 hektar tanpa perlu keluar banyak biaya untuk membelinya atau menyewanya, yang tentu saja - jika menyewa lahan yang dimiliki masyarakat - perlu biaya yang besar. Lahan seluas 500 hektar tersebut bisa diusahakan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun dan nantinya (setelah habis masa berlaku) masih bisa diperpanjang.
Untuk menguasai lahan seluas 500 hektar selama 20 tahun, peternak hanya perlu keluar dana sejumlah Rp2.000/hektar/tahun untuk pembayaran Iuran IUPK-SP yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Biaya lain yang wajib dikeluarkan oleh peternak yaitu pembayaran provisi (PNBP hasil silvopastura) atas daging sapi yang dihasilkan. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 menetapkan bahwa tarif PNBP hasil silvopastura sebesar 10% dari harga patokan dengan satuan berat Ton. Dan harga patokan daging si “sapi hutan” ini ditetapkan di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.64/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2017 (P.64/2017) sebesar Rp45.000.000/ton. Dengan demikian peternak membayar PNBP hasil silvopastura sebesar Rp4.500 atas setiap 1 kilogram daging sapi yang dihasilkan dari IUPK-SP.
Defisit daging sapi nasional sekitar 259.622 ton (259.622.000 kg) di atas tadi setara dengan sebanyak 1.527.188 ekor sapi lokal siap potong (rata-rata 1 ekor sapi lokal menghasilkan daging seberat 170 kg) atau sebanyak 1.298.110 ekor sapi ex-import siap potong (rata-rata 1 ekor sapi ex-import menghasilkan daging seberat 200 kg).
Lahan di mana yang bisa digunakan untuk peternakan yang bisa menampung jutaan ekor sapi? IUPK-SP adalah salah satu jawabannya, dan terutama tentu saja lebih murah.
Skema regulasi silvopastura ini terbit sudah sejak 9 (sembilan) tahun lalu, tapi hingga kini korporasi (besar) yang mengajukan permohonan dan telah mendapatkan IUPK-SP masih belum banyak, masih bisa dihitung dengan jari. Beberapa diantaranya hanya baru di Sumatera Utara dan Lampung pada areal kawasan hutan produksi seluas 616 hektar.
Maka itu jangan lupa atuh yah, jika punya kenalan peternak, apalagi peternak skala besar, bisikan saja bahwa beternak sapi kini bisa di kawasan hutan (produksi) dengan skema IUPK-SP.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

0 komentar