Thursday, January 3, 2019

Menghitung Hidup

MENGHITUNG HIDUP

Pada bulan September 2018, Pak Harun (bukan nama sebenarnya) sebagai karyawan dengan posisi jabatan pada midlle management di salah satu perusahaan di Samarinda-Kalimantan Timur mendapatkan penghasilan dari kantor tempatnya bekerja sejumlah Rp8,1 juta terdiri dari gaji bulanan Rp5 juta dan tunjangan lain-lainya Rp3,1 juta.

Bulan september 2018 terdiri dari 19 hari kerja, maka pendapatan Pak Harun tersebut dari kantor tempatnya bekerja adalah sebesar Rp426.315,79/hari. Jika menggunakan standar umum pemenuhan kebutuhan hidup, pendapatan sehari sebesar itu sebetulnya bisa disebut “relatif cukup besar”.

Masalahnya adalah pada bulan september 2018 tersebut Pak Harun hidup tidak hanya selama 19 hari, melainkan 30 hari, maka distribusi pendapatan selama bulan September 2018 tadi menurun menjadi sebesar Rp270.000,00/hari.

Dengan penerimaan sebesar Rp270.000,00/hari, tentu saja itu “relatif cukup” untuk biaya hidup standar jika Pak Harun hidup hanya seorang diri dan tidak pernah terserang sakit. Adalah menjadi agak rumit karena ternyata Pak Harun ini punya 1 orang istri dan 2 orang anak yang dua-duanya sedang kuliah di perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa yang mengharuskannya menjadi anak kost.

Karenanya angka-angka di atas tadi mesti dihitung ulang;

Untuk biaya hidup kedua anaknya di kost, Pak Harun ini mesti mengeluarkan uang sebesar Rp5 juta/bulan, bayar listrik rumahnya Rp600 ribu/bulan, juga bayar air PDAM Rp300 ribu/bulan, serta beli pulsa/paket data internet telepon genggam Pak Harun dan istrinya Rp200 ribu/bulan, sehingga biaya kebutuhan hidup yang dipastikan tidak bisa ditunda tersebut jumlahnya mencapai Rp6,1 juta/bulan.

Jika Pak harun tidak mendapatkan penghasilan lain selain dari kantornya itu, maka tersisa Rp2 juta untuk biaya hidup berdua dengan istrinya selama sebulan atau sebesar Rp66.666,67/hari. “Anggaran belanja” sebesar Rp66.666,67/hari tersebut mesti cukup untuk Pak Harun dan istrinya makan, biaya transportasi (bahan bakar minyak) Pak Harun ke tempatnya bekerja, bayar iuran bulanan di komplek perumahan tempat tinggalnya, dan (mungkin) beli bakso si mamang yang suka lewat depan rumah, atau beli make up istrinya, bahkan biaya ke dokter jika terserang sakit, serta masih banyak biaya tetek bengek lainnya

Sepertinya hal tersebut hampir tidak mungkin, tapi ternyata hidup seringkali tidak matematis bahkan “tidak pernah” matematis, karena nyatanya Pak Harun beserta istri dan anak-anaknya masih tetap saja bisa menjalani hari-hari hidupnya hingga kini, meski tidak jarang Rupiah terakhir yag didapatkan dari kantor tempatnya bekerja telah habis dibelanjakan sebelum akhir bulan.

Gambar : google image







Banyak ruang/dimensi lain dalam hidup yang tidak tersadari, dan itu ajaib. Perkara Pak Harun pening dengan kewajiban bayar cicilan utang bulanan, atau tiba-tiba kedua anaknya minta uang untuk bayar iuran kegiatan di kampusnya, itu adalah hal biasa.
  
Dengan upah kerja sebesar Rp426.315,79/hari saja Pak Harun ini merasa pening, lalu bagaimana dengan orang yang penghasilannya hanya Rp50 ribu/hari, mungkin peningnya bisa berkali lipat, bahkan peningnya itu bisa puluhan kali lipat bagi orang yang kerjanya hanya serabutan.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan-mu memaklumkan; sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“ (QS. Ibrahim : 7).


Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

0 komentar