MENGHITUNG HIDUP
Pada
bulan September 2018, Pak Harun (bukan nama sebenarnya) sebagai karyawan dengan
posisi jabatan pada midlle management di salah satu perusahaan di
Samarinda-Kalimantan Timur mendapatkan penghasilan dari kantor tempatnya
bekerja sejumlah Rp8,1 juta terdiri dari gaji bulanan Rp5 juta dan tunjangan lain-lainya
Rp3,1 juta.
Bulan
september 2018 terdiri dari 19 hari kerja, maka pendapatan Pak Harun tersebut
dari kantor tempatnya bekerja adalah sebesar Rp426.315,79/hari. Jika
menggunakan standar umum pemenuhan kebutuhan hidup, pendapatan sehari sebesar
itu sebetulnya bisa disebut “relatif cukup besar”.
Masalahnya
adalah pada bulan september 2018 tersebut Pak Harun hidup tidak hanya selama 19
hari, melainkan 30 hari, maka distribusi pendapatan selama bulan September 2018
tadi menurun menjadi sebesar Rp270.000,00/hari.
Dengan
penerimaan sebesar Rp270.000,00/hari, tentu saja itu “relatif cukup” untuk
biaya hidup standar jika Pak Harun hidup hanya seorang diri dan tidak pernah
terserang sakit. Adalah menjadi agak rumit karena ternyata Pak Harun ini punya
1 orang istri dan 2 orang anak yang dua-duanya sedang kuliah di perguruan
tinggi negeri di Pulau Jawa yang mengharuskannya menjadi anak kost.
Karenanya
angka-angka di atas tadi mesti dihitung ulang;
Untuk
biaya hidup kedua anaknya di kost, Pak Harun ini mesti mengeluarkan uang
sebesar Rp5 juta/bulan, bayar listrik rumahnya Rp600 ribu/bulan, juga bayar air
PDAM Rp300 ribu/bulan, serta beli pulsa/paket data internet telepon genggam Pak
Harun dan istrinya Rp200 ribu/bulan, sehingga biaya kebutuhan hidup yang dipastikan
tidak bisa ditunda tersebut jumlahnya mencapai Rp6,1 juta/bulan.
Jika
Pak harun tidak mendapatkan penghasilan lain selain dari kantornya itu, maka tersisa
Rp2 juta untuk biaya hidup berdua dengan istrinya selama sebulan atau sebesar
Rp66.666,67/hari. “Anggaran belanja” sebesar Rp66.666,67/hari tersebut mesti
cukup untuk Pak Harun dan istrinya makan, biaya transportasi (bahan bakar
minyak) Pak Harun ke tempatnya bekerja, bayar iuran bulanan di komplek
perumahan tempat tinggalnya, dan (mungkin) beli bakso si mamang yang suka lewat
depan rumah, atau beli make up istrinya, bahkan biaya ke dokter jika terserang
sakit, serta masih banyak biaya tetek bengek lainnya
Sepertinya hal tersebut
hampir tidak mungkin, tapi ternyata hidup seringkali tidak matematis bahkan
“tidak pernah” matematis, karena nyatanya Pak Harun beserta istri dan
anak-anaknya masih tetap saja bisa menjalani hari-hari hidupnya hingga kini,
meski tidak jarang Rupiah terakhir yag didapatkan dari kantor tempatnya bekerja telah habis dibelanjakan sebelum akhir bulan.
![]() |
Gambar : google image |
Banyak ruang/dimensi lain dalam hidup yang tidak tersadari, dan itu ajaib. Perkara Pak Harun pening dengan kewajiban bayar cicilan utang bulanan, atau tiba-tiba kedua anaknya minta uang untuk bayar iuran kegiatan di kampusnya, itu adalah hal biasa.
Dengan
upah kerja sebesar Rp426.315,79/hari saja Pak Harun ini merasa pening, lalu
bagaimana dengan orang yang penghasilannya hanya Rp50 ribu/hari, mungkin
peningnya bisa berkali lipat, bahkan peningnya itu bisa puluhan kali lipat bagi
orang yang kerjanya hanya serabutan.
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhan-mu memaklumkan; sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“ (QS. Ibrahim :
7).
Demikian,
mudah-mudahan bermanfaat.
0 komentar
EmoticonEmoticon