Saturday, March 14, 2020

Nukilan Cerita 16-IEUI

NUKILAN CERITA 16-IEUI

Akhir bulan November 1993, penulis beserta lima belas orang teman berangkat dari Jakarta menuju Ambon-Maluku. Jarak perjalanan yang jauh tidak membuat kami merasa lelah, bahkan kami jalani dengan riang gembira, karena perjalanan tersebut adalah perjalanan pertama kalinya kami menuju dunia kerja. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan waktu itu, kami ditugaskan sebagai Pengawas Hak Pengusahaan Hutan (Pengawas HPH) di Provinsi Maluku. Kami gembira karena di usia yang relatif masih muda dan belum berkeluarga (belum menikah) sudah berstatus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil yang nantinya bakal rutin menerima gaji setiap bulan.

Setibanya di Ambon terlihat bukit-bukit yang tampak menghijau dan kami senang, bahwa kami akan bekerja dan hidup di sini, di kota yang dikelilingi laut yang jernih. Kami kabarkan kepada orang tua masing-masing yang kami tinggalkan di Pulau Jawa, bahwa di Ambon kami semua merasa happy. Berangkat dari kondisi itulah kami mulai menjalani hari-hari pengabdian sebagai pegawai pemerintah di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Maluku yang dipekerjakan pada Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Maluku.

Tempat tinggal kami menyebar di beberapa lokasi di kota Ambon, dan dalam perkembangannya beberapa orang diantara kami kemudian menikah dengan gadis Ambon, gadis Ternate, bahkan gadis Manado. Penulis sendiri menikah dengan gadis Bandung pada saat sedang ditugaskan di Ternate setelah sekitar empat tahun bekerja di Provinsi Maluku. Penulis memanggil Gadis Bandung itu dengan panggilan Ninoy, yang kemudian penulis bawa serta ke kota “Sultan Baabullah” tersebut. Namun tiga bulan setelah kedatangan Ninoy di Ternate, penulis dipindahtugaskan kembali ke Ambon. Kami berdua tinggal di kawasan Kebun Cengkeh.  

Singkat cerita, pada pertengahan bulan Juli 1997 perasaan kami campur aduk, ada rasa bahagia, ada juga rasa haru. Penyebabnya adalah dokter spesialis kandungan yang berpraktek di Jl. Tulukabessy–Ambon, yang kami kunjungi sore hari waktu itu memberitahu kami bahwa Ninoy positif mengandung. Sebagai pasangan muda yang belum lama menikah, tentu saja kehamilan Ninoy membuat kami sangat senang, dan menumbuhkan harapan baru bahwa sembilan bulan kemudian di tengah-tengah kami akan hadir seorang bayi. Bahwa tidak lama lagi kami akan menjadi bapak dan ibu dari anak kami. Meskipun waktu itu sedang terjadi krisis moneter yang meluluhlantakan perekonomian Indonesia, kami tetap bergembira dan bersiap menyambut kehadiran si jabang bayi.

Sejak saat itu Ninoy menjalani hari-harinya dengan ditemani oleh seorang perempuan paruh baya yang berasal dari Desa Sawai, yaitu sebuah desa yang terletak di Pulau Seram bagian utara. Dengan merujuk ke daerah asalnya, kami berdua memanggilnya dengan sebutan Nenek Sawai. Beliau memanggil saya dengan sebutan Bapak Jawa dan Ninoy sebagai Mama Jawa. Kami mendapat panggilan seperti itu karena daerah asal kami yaitu Jawa Barat. Beliau lah yang menemani Ninoy di rumah saat penulis sedang di kantor atau pergi tugas dinas keluar Pulau Ambon. Kalau sedang menginap di rumah kami, beberapa orang dari dua belas orang cucunya diajak serta menemani Ninoy. penulis merasa beruntung dengan kondisi demikian, dan sangat berterima kasih sekaligus berutang budi kepada beliau, mengingat kami hidup di Ambon hanya berdua saja jauh dari sanak saudara.

Pada masa selama kehamilan Ninoy, suasana politik-terutama di Jakarta-sangat ramai, imbas dari krisis moneter yang sedang terjadi kala itu. Unjuk rasa mahasiswa menuntut reformasi total di berbagai bidang terjadi di kota-kota besar di tanah air, nilai tukar Rupiah terhadap US$ semakin tidak terkendali, dan riak-riak kerusuhan unjuk rasa mahasiswa kami saksikan di layar televisi. Namun dibalik hiruk pikuk suasana politik yang memanas tersebut, justru dalam tidur malam penulis seringkali bermimpi yang kata orang-orang berpertanda bagus. Penulis bermimpi tiga malam berturut-turut berjabat tangan dengan Presiden Soeharto, bermimpi diberi bunga mawar merah oleh mbak Tutut (putri pertama Presiden Soeharto), dan mimpi-mimpi lainnya yang membuat penulis merasa takjub setelah bangun tidur pada pagi harinya.

Bulan April 1998 atau kurang lebih satu bulan sebelum Presiden Soeharto mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan pemerintahan, menjelang Maghrib Ninoy mengalami pecah ketuban sebagai tanda akan segera melahirkan. Dengan agak gugup, Ninoy penulis antar ke rumah sakit bersama dengan Kang Umad Muhammad dan Teh Ai, sepasang suami istri yang sudah kami anggap sebagai kakak sendiri, yang kebetulan mereka berasal dari Jawa Barat juga. Penulis dan Kang Umad sama-sama bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Maluku yang dipekerjakan pada Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Maluku. Kini beliau telah pindah tugas ke Tatar Parahyangan sebagai Kepala Balai Pelatihan Pertanian Provinsi Jawa Barat setelah sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pulau Buru.

Sekitar jam satu dini hari, bayi kami lahir dengan selamat melalui persalinan operasi bedah caesar di sebuah rumah sakit milik Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kawasan Perigi Lima-Ambon. Bayi laki-laki yang sehat dengan berat 3,6 kg dan tinggi 46 cm, yang kemudian kami beri nama Jihad Alif. Kami telah menjadi seorang ibu dan seorang bapak dengan kehadiran Jihad Alif. Dengan kondisi tubuh Ninoy yang masih dalam pemulihan pasca operasi, penulis mengambil alih tugasnya menjaga bayi terutama jika memasuki malam hari. Rutinitas mengganti popok, mengisi dot (botol) susu “VITALAC” yang telah habis, dan sekedar membetulkan posisi tidur bayi, penulis jalani selama enam bulan penuh. Selama itu pula penulis baru akan pergi tidur setelah melewati waktu Subuh.


Awal bulan Januari 1999, saat Jihad Alif memasuki usia sembilan bulan, penulis mengambil cuti kantor dan melakukan perjalanan mudik hari raya Idul Fitri ke Bandung. Namun entah apa yang terjadi saat itu, meski kami telah mencari tiket tiga minggu sebelumnya, tapi semua tiket pesawat telah habis. Kami beralih ke kapal PELNI, hasilnya sama saja, tiket kelas I, II dan III, semuanya telah habis. Tapi daripada batal mudik, akhirnya dengan terpaksa kami ambil tiket kapal PELNI kelas ekonomi, dengan harapan setelah memasuki Pelabuhan Soekarno-Hatta di Ujung Pandang (waktu itu Makassar masih bernama Ujung Pandang) kami bisa suplisi (naik kelas) tiket ke kelas I, saat sebagian besar penumpang turun di Ujung Pandang.

Penulis masih ingat bagaimana berjubel dan membludaknya penumpang yang saat itu akan naik ke kapal PELNI bernama “RINJANI”. Dengan tangan kiri menjinjing koper pakaian dan tangan kanan memegangi Jihad Alif yang masih berusia sembilan bulan yang penulis panggul di pundak, penulis berdesakan dengan penumpang lainnya diikuti Ninoy yang juga menjinjing koper pakaian dan peralatan bayi, menaiki tangga memasuki kapal yang akan mengangkut kami. Rupanya semua itu belum usai, sampai di atas kapal kami mencari-cari tempat tidur yang masih kosong, namun tidak satu pun tersisa, semuanya telah terisi. Akhirnya dengan sangat terpaksa kami menggelar kain selimut di selasar kapal bersama-sama dengan penumpang lainnya yang tidak kebagian tempat tidur.

Saat memasuki malam harinya Ninoy dan Jihad Alif tertidur lelap karena kecapaian. Penulis pandangi wajah keduanya dengan perasaan haru dan sekaligus marah pada keadaan, kenapa kami harus mengalami hal seperti ini. Jihad Alif yang masih berusia sembilan bulan mesti kami relakan tidur di selasar kapal, ini keadaan yang sangat tidak adil fikir penulis. Bagi penulis, itu sebuah pengalaman yang tidak bisa terlupakan hingga saat ini. Namun setelah pecah kerusuhan sektarian di Ambon, penulis baru mengerti setelah mendengar desas-desus bahwa kondisi tersebut terjadi karena terjadinya eksodus besar-besaran sebagian kalangan yang telah mendengar terlebih dahulu mengenai isu-isu akan terjadinya kerusuhan di hari raya Idul Fitri tahun 1999, sehingga se-bisa dan se-segera mungkin mereka meninggalkan kota Ambon. Hal inilah yang membuat tiket moda transportasi udara dan laut habis terjual jauh hari sebelumnya. 

Lima hari empat malam kami berlayar dari Pelabuhan Yos Sudarso di Ambon menuju Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dengan singgah di pelabuhan Makassar, pelabuhan Baubau, dan pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Hari-hari kami di atas kapal disibukan dengan membaca, menyeduh susu bayi, mengganti popok bayi, dan sesekali nongkrong minum kopi di cafeteria yang terletak di geladak kapal. Perjalanan yang terasa sangat panjang karena dibarengi perasaan ingin segera tiba di Bandung. Akhirnya waktu yang ditunggu–tunggu pun tiba, tepat menjelang siang di hari kelima, “RINJANI” yang kami tumpangi sandar di pelabuhan Tanjung Priok. Turun dari kapal kami dijemput oleh oom Sistomo, seorang paman Ninoy yang kebetulan saat itu bertugas di kesatuan Polisi Perairan dan Udara MABES POLRI (terakhir beliau menjabat sebagai Direktur POLAIRUD Polda Aceh hingga memasuki masa pensiun). Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Bandung menggunakan mobil milik oom Sistomo dengan diantar oleh sopir beliau.

Kedatangan kami di Bandung disambut dengan sangat senang oleh sanak keluarga, terutama oleh kakek dan neneknya Jihad Alif. Bahkan kakeknya (bapak mertua penulis) selama dua hari itu meliburkan diri (tidak masuk kerja) dari kantornya di PT. Perkebunan Nusantara VIII, sebuah BUMN yang fokus usahanya perkebunan Teh di Bandung Selatan, hanya untuk menyambut kedatangan cucunya. Demikian juga dengan neneknya (ibu mertua penulis), membebastugaskan Ninoy dari kewajibannya sebagai seorang ibu, segala kewajiban kami sebagai orang tua diambil alih oleh mertua, maka selama di Bandung kami berdua menjadi “pengangguran”.

Pada saat merayakan Idul Fitri tahun 1999 di Bandung, kami melihat berita di televisi terjadi kerusuhan di Ambon. Kami mengira hanya kerusuhan biasa saja, namun ternyata kerusuhan semakin melebar dan menjadi konflik sektarian. Banyak korban jiwa di kedua belah pihak. Oleh karena itu meski masa cuti penulis telah habis, kami pun menunda keberangkatan pulang kembali ke Ambon, menunggu suasana kembali reda dan kondusif. Akibat kerusuhan yang massif dan berkepanjangan inilah, penulis baru dapat kembali ke Ambon pada bulan Maret 1999. Penulis pergi sendirian dengan meninggalkan Ninoy dan Jihad Alif di Bandung. Selama kurang lebih enam bulan berada tengah-tengah kerusuhan, siang dan malam penulis mesti tetap waspada dan siap siaga jika tiba-tiba saja kerusuhan terjadi di tempat kami tinggal. Hingga akhirnya pada bulan September 1999, penulis dipindahtugaskan dari Ambon ke Bandar Lampung.   

Pada masa awal tugas di Bandar Lampung, bukanlah masa-masa yang mudah bagi kami. Bagaimana tidak, waktu itu kami berempat yaitu penulis, Ir. Jaya Atmaja, MM., Dr. Abdul Kodir, MM., Dedi, SAP., M.Si datang dari Ambon ke Bandar Lampung dengan tidak dalam kondisi normal. Rumah dan harta benda lainnya yang kami miliki ditinggalkan begitu saja di Ambon, dan kantor di Bandar Lampung benar-benar baru berdiri. Hanya ada dua kursi dan dua meja kerja di sebuah gedung milik Gugus Depan Pramuka Saka Wanabakti yang dialihfungsikan menjadi kantor kami. Kami berempat bersama dengan Kepala Kantor benar-benar mendirikan sebuah kantor lembaga yang baru dibentuk bernama Loka Eksploitasi Hutan dan Pengujian Hasil Hutan (LEHPHH) yang kemudian bertransformasi menjadi Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan (BSPHH), dan terakhir bernama Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP). Dengan anggaran dana yang sangat terbatas dan tugas pokok baru yang harus dilaksanakan segera, kami benar-benar memulainya dari nol.

Setelah sekitar delapan bulan bertugas di Bandar Lampung, kondisi “susah” yang kami alami belum juga berhenti, karena selama itu pula kami tidak menerima gaji sebagaimana layaknya seorang Pegawai Negeri Sipil. Kondisi di Ambon yang belum juga kondusif membuat bendahara gaji kesulitan mengurus proses pemindahan gaji kami ke Bandar Lampung. Dengan tidak gajian, dan harus menyiapkan susu bubuk “VITALAC” untuk Jihad Alif yang tidak boleh terlambat, penulis harus memutar otak lebih kencang agar dapat bertahan hidup di tempat baru. Kami baru bisa menerima gaji secara normal setelah delapan bulan sejak pindah tugas dari Ambon.

Malam Minggu di bulan Agustus 2002, penulis dan Ninoy serta Jihad Alif jalan-jalan ke sebuah pasar malam dekat komplek perumahan yang kami tinggali di kawasan Way Halim. Niatnya hanya untuk jalan-jalan, tidak ada niat lain, bahkan untuk sekedar jajan bakso saja kami mesti berfikir dua kali, karena kami sedang tidak punya uang. Tapi saat berada di depan sebuah gerai pakaian olah raga, Jihad Alif berhenti dan menggamit tangan penulis. Dipandanginya satu per satu baju kaos di gerai itu, yang kebetulan baju kaos yang dijajakan kebanyakan jersey Persib Bandung, dari ukuran anak-anak hingga dewasa. Dengan suara yang agak ditahan Jihad Alif bertanya kepada penulis; “Pak, boleh nggak Alif beli ini?” sambil menunjuk baju kaos bernomor punggung 6 bertuliskan nama Robby Darwis (pemain Persib Bandung). Mendapati pertanyaan seperti itu, penulis merasa terharu. Dalam hati penulis, ini anak meskipun baru berusia empat tahun, mungkin sudah tahu bapaknya sedang tidak punya uang, sehingga hanya untuk membeli sebuah baju kaos saja mesti bertanya terlebih dahulu boleh apa tidak. Sejurus kemudian permintaan Jihad Alif penulis iyakan, dan dengan sisa uang yang ada yang sebelumnya kami hemat-hemat, malam itu penulis belikan Jihad Alif sebuah baju kaos Persib Bandung. Jihad Alif terlihat senang dan di hari-hari berikutnya baju kaos tersebut kemudian sering dikenakannya.              

Berangkat dari kondisi demikian, dengan uang yang tidak seberapa, penulis bersama dengan Ade Sutaji, S.Sos yang baru saja pindah tugas dari BSPHH Manokwari ke BSPHH Bandar Lampung, dan dua orang petani bernama mang Arnen dan mang Tasna yang rumah tinggalnya di dekat kantor, kami berkebun sayuran di lahan nganggur milik PT. PLN (Perseoro). Lahan yang kami manfaatkan kurang lebih seluas satu hektar dengan komoditi yang kami tanam yaitu kangkung dan bayam. Penulis dan Ade Sutaji, S.Sos sebagai pemodal, sedangkan mang Arnen dan mang Tasna sebagai penggarap, hasilnya kami bagi empat, terasa cukup adil bukan?. Biasanya selepas pulang jam kantor, penulis pergi ke kebun mengamati pertumbuhan sayuran yang kami budidayakan sambil sesekali memberi arahan apa yang harus dikerjakan oleh mang Arnen dan mang Tasna.

Sayuran segar kangkung dan bayam yang dipanen kami pasok ke supermarket “GELAEL”, dan sebagian lainnya kami jual ke pasar tradisional “BAMBU KUNING”. Dalam perkembangannya, jenis sayuran yang kami tanam semakin beragam, ada caisim, pakcoy, capcay, dan kembang kol. Pasarnya pun tidak hanya ke GELAEL dan BAMBU KUNING, kami pasok juga pasar tradisional “WAY HALIM”. Namun sayangnya, aktivitas berkebun tersebut terhenti pada akhir tahun 2002. Penyebabnya adalah hama yang menyerang tanaman kembang kol membuat panen kami tidak seperti yang diharapkan, sehingga keuntungan yang sudah kami hitung-hitung dari awal berbalik menjadi kerugian.

Memasuki bulan Maret 2003, kami pindah tempat tinggal dari kawasan Way Halim ke kawasan Kemiling. Kebetulan waktu itu penulis dapat rumah baru tanpa uang muka dari Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) dan pembayarannya diangsur dengan cara dipotong gaji. Dan karena kebutuhan susu bubuk “VITALAC” Jihad Alif semakin hari semakin meningkat, penulis pun kembali berkebun, tapi kali ini hanya di samping rumah, memanfaatkan lahan pekarangan yang belum dibangun kurang lebih seluas seratus meter persegi (luas tanah rumah kami sekitar seratus delapan puluh enam meter persegi).

Penulis dan Ninoy mendirikan nursery anggrek bulan bernama “NALENDRA ORCHIDS”, yang kemudian dari hasil bertani anggrek inilah kondisi ekonomi rumah tangga kami menjadi lebih baik. Nursery kami mendapat apresiasi dari Gubernur Lampung waktu itu. Pelanggan kami selain berasal dari Bandar Lampung, juga berasal dari Jakarta, Palembang, Jambi, bahkan Pekanbaru dan Bengkulu.

Bibit anggrek yang dibudidayakan kami beli dari Rumah Bunga Rizal di Lembang-Bandung. Apabila kebetulan sedang pulang ke Bandung, dengan ditemani adik ipar (suami adiknya Ninoy) penulis selalu mengunjungi Rumah Bunga Rizal. Penulis betah berlama-lama ngobrol tentang berbagai hal mengenai anggrek dengan teman dan sekaligus guru penulis yaitu Bapak Rizal Djaafarer, pemilik Rumah Bunga Rizal. Beliau seorang penyilang anggrek kenamaan yang sudah malang melintang di dunia anggrek sejak dekade tahun tujuh puluhan, yang mana anggrek-angrek hasil silangan beliau kualitasnya diakui di tingkat Asia Tenggara. Bapak Rizal Djaafarer sosok yang menginspirasi dan memotivasi penulis dalam hal entrerpreneur. Dari beliau inilah penulis banyak belajar mengenai inovasi dan kreatifitas dalam budidaya tanaman hias khususnya anggrek.   

Dalam pada itu Ninoy juga turut membantu menggerakan roda ekonomi rumah tangga kami dengan berjualan alat-alat keperluan rumah tangga yang kami ambil dengan cara ngutang kepada salah satu kerabat kami yang tinggal di Bandar Lampung. Kemudian alat-alat keperluan rumah tangga berupa sendok, piring, garpu, gelas, mangkuk, rice cooker (magicom) tersebut dikreditkan kepada teman-temanya dan juga tetangga. Waktu itu omzet penjualannya cukup bagus mencapai puluhan juta Rupiah.


Pertengahan tahun 2004, Jihad Alif memasuki usia Sekolah Dasar (SD). Penulis dan Ninoy sepakat menyekolahkan Jihad Alif ke salah satu sekolah swasta unggulan terbaik di Bandar Lampung. Kami daftarkan di SD “Al Kautsar”, sekolah yang bernaung di sebuah Lembaga Perguruan Islam ternama di Bandar Lampung, yang mana jenjang pendidikan di sana tersedia mulai SD hingga SMA. Sebenarnya di dekat komplek perumahan tempat kami tinggal terdapat dua SD yang kualitasnya cukup bagus, namun dengan pertimbangan untuk masa depan Jihad Alif, meskipun SD Al Kautsar jaraknya cukup jauh, keputusan itu kami ambil, kami berfikir bahwa Jihad Alif harus belajar di sekolah terbaik. Sebagai tambahan pelajaran di sekolah, Jihad Alif kami ikutkan juga dalam bimbingan/les pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, dan Science selepas jam sekolah.

Berkaitan dengan les mata pelajaran sekolah ini penulis pernah mengalami kepanikan yang luar biasa. Ceritanya siang itu Ninoy menelepon menyampaikan bahwa Jihad Alif belum pulang ke rumah seperti biasanya. Segara saja sambungan telepon penulis tutup dan bergegas pergi ke SD Al-Kautsar untuk menanyakan keberadaan Jihad Alif ke sopir abodemen bernama oom Sumanto yang tiap hari mengantar Jihad Alif pulang-pergi sekolah. Oom Sumanto menjawab bahwa Jihad Alif hari itu pulang tidak ikut abodemen karena mengikuti les di rumah salah satu gurunya. Penulis datangi wali kelas Jihad Alif di kantornya dan menanyakan apakah siswa kelas IV-D sudah bubar, dan dijawabnya sudah bubar sesuai jadwal. Kepanikan penulis semakin menjadi-jadi, kemudian penulis datangi rumah gurunya Jihad Alif tempat di mana dia ikut les, dijawab gurunya sudah pulang juga. Lantas anak ini pergi ke mana?, penulis merasakan kepanikan yang luar biasa, dan berfikir jangan-jangan Jihad Alif hilang diculik.

Di tengah kepanikan itu penulis kendarai mobil dengan kencang menuju rumah sambil terus berdoa agar tidak terjadi apa-apa dengan Jihad Alif. Begitu sampai di rumah penulis bisa bernafas lega, alhamdulilah Jihad Alif ternyata baru saja sampai pulang ke rumah, yang ternyata setelah selesai mengikuti les itu dia diajak pulang oleh seorang ibu tetangga komplek perumahan kami. Emosi akibat rasa panik tadi penulis tumpahkan dengan sedikit marah kepada Jihad Alif, penulis tanya kenapa tidak memberitahu ada yang mengajak pulang, kenapa begini, kenapa begitu, penulis sampaikan bertubi-tubi. Diberondong pertanyaan dengan nada marah seperti itu, mata Jihad Alif terlihat berkaca-kaca. Penulis istighfar dan tersadar bahwa itu cara yang salah, akhirnya penulis peluk Jihad Alif dengan sangat erat, penulis ciumi dia, sembari bersyukur bahwa anak kami telah ditemukan kembali.

Pada awal tahun 2006, Jihad Alif mendapatkan seorang adik perempuan. Ya, Ninoy melahirkan anak ketiga kami (pada tahun 2002 anak kedua kami meninggal dalam kandungan karena keguguran). Adiknya Jihad Alif kami beri nama Madinah Alif. Rumah tangga kami semakin ramai dengan kehadiran Madinah Alif. Lengkap sudah, anak yang satu berjenis kelamin laki-laki dan anak satunya lagi berjenis kelamin perempuan. Ninoy melahirkan Madinah Alif ditemani oleh Ibu Rita Ambarwati (istri dari bapak Ir. Jaya Atmaja, MM yang bersama-sama kami pindahan dari Ambon ke Bandar Lampung). Ninoy melahirkan Madinah Alif dengan kembali melalui operasi bedah caesar untuk ketiga kalinya di sebuah rumah sakit di kawasan Jl. Urip Sumoharjo-Bandar Lampung. Madinah Alif lahir dengan berat 4,1 kilogram dan dengan kulit berwarna kuning langsat, terlihat bongsor. Cerita mengenai Madinah Alif akan penulis tuangkan dalam tulisan berikutnya.

Pada kurun waktu pertengahan tahun 2009, menjelang kenaikan kelas Jihad Alif dari kelas V ke kelas VI, penulis pindah tugas dari BSPHH Bandar Lampung ke Pusat (Jakarta), tepatnya ke Direktorat Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, di Gedung Pusat Kehutanan Manggala Wanabakti. Kami memulai lagi kehidupan baru di tempat baru, dan setelah penulis bicarakan dengan Ninoy, meski penulis nantinya berkantor di Jakarta tapi untuk tempat tinggal kami pilih di Bogor. Untuk sementara, sambil mencari rumah di Bogor, Ninoy, Jihad Alif dan Madinah Alif tinggal di Bandung, sedangkan penulis tinggal di kawasan Cawang–Jakarta Timur, ikut menumpang adik ipar Ninoy yang kebetulan sudah lama tinggal di sana. Setelah menerima raport kenaikan kelas dan segala macam administrasi pindah sekolah, kami pun berangkat menuju Bandung. Anggrek yang ada di nursery, kami jual semuanya kepada pelanggan lama yang biasa membeli anggrek di tempat kami.

Pada saat menjelang pergi, dengan dilepas oleh para tetangga, sore itu penulis pandangi rumah yang selama ini kami tinggali, terasa sedih dan berat, bahkan waktu itu tidak terasa penulis menitikan air mata. Dalam perjalanan menuju Bandung, terbayang oleh penulis suka duka selama tinggal di Bandar Lampung. Namun apa boleh buat, fikir penulis inilah jalan hidup kami. Selanjutnya Jihad Alif meneruskan sekolahnya di SD Negeri Nata Endah I, di kawasan Kopo, Margahayu, Bandung. Selama setahun, setiap minggu penulis pulang-pergi Bandung–Jakarta, hari senin pagi pergi ke Jakarta, dan hari Jumat sore pulang ke Bandung. Aktivitas tersebut penulis jalani sampai Jihad Alif lulus SD di Bandung.

Menjelang akhir tahun 2009 kami sudah mendapatkan rumah di Bogor, sudah kami rehab di beberapa bagian dan sudah siap dihuni. Maka pada bulan Juni 2010, setelah Jihad Alif lulus SD di Bandung, kami pindah rumah ke Bogor. Penulis bisa kembali bersama Ninoy, Jihad Alif dan Madinah Alif setiap hari di rumah (kecuali pada saat penulis sedang tugas dinas ke luar Jakarta, yang waktunya rata-rata hanya seminggu, misalnya ke pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua). Untuk sekolah Jihad Alif yang telah memasuki jenjang SMP, lagi-lagi kami sepakat menyekolahkannya di sekolah terbaik, dan setelah bertanya kepada teman-teman kantor yang kebetulan tempat tinggalnya di Bogor, kami daftarkan Jihad Alif ke SMP Negeri 4 Bogor, yang waktu itu merupakan sekolah dengan predikat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, dan Alhamdulillah langsung diterima saat itu juga. Selama menempuh pendidikan di SMP Negeri 4 Bogor, banyak prestasi yang diraih Jihad Alif, baik sebagai individu maupun sebagai tim sekolah, baik dalam event internal sekolah maupun event eksternal.

Setelah tiga tahun menempuh jenjang pendidikan SMP dan dinyatakan lulus, kami berkeinginan agar kelak nantinya Jihad Alif kuliah di Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan program studi Teknik Sipil. Oleh karena itu kami bermaksud mendaftarkan sekolah Jihad Alif di SMA Negeri 3 Bandung, karena berdasarkan informasi yang kami dengar bahwa setiap tahunnya sebagian besar siswa lulusan SMA Negeri 3 Bandung diterima kuliah di ITB. Pertimbangan kami saat itu sederhana sekali, yaitu melihat pamannya Jihad Alif (suami dari adiknya Ninoy) yang alumni Teknik Sipil ITB, yang hanya dengan bekerja di rumah saja bisa mendapatkan penghasilan yang besar setiap bulannya. Alangkah enaknya fikir penulis.

Namun ternyata, seleksi masuk ke SMA Negeri 3 Bandung sangat ketat, dan kuota penerimaan siswa dari luar kota Bandung hanya beberapa orang saja. Lagipula yang mendaftar tidak hanya kami, tapi banyak juga yang berasal dari luar Pulau Jawa, ada yang dari Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, juga Kalimantan Selatan. Akhirnya kami putuskan Jihad Alif melanjutkan sekolahnya di Bogor saja dan kami daftarkan di SMA Negeri 1 Bogor yang juga berpredikat sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Sama halnya dengan ketika masih di SMP, banyak prestasi yang diraih Jihad Alif ketika di SMA, dan juga sangat aktif di kegiatan OSIS SMA Negeri 1 Bogor.

Pada masa SMA inilah Jihad Alif mulai mengenal yang namanya cinta monyet, terhitung beberapa kali dia cukup dekat dengan beberapa teman perempuan SMA-nya, dan kami sebagai orang tua dapat memakluminya selama tidak menggangu kegiatan belajarnya. Kalau diperhatikan, hampir semua teman perempuan yang pernah dekat dengannya adalah kakak kelasnya. Teman perempuan seangkatan yang pernah dekat dengannya hanya pada masa SMP saja, dan setelah masa SMA semua teman dekatnya adalah kakak kelasnya. Meminjam istilah anak-anak zaman sekarang, Jihad Alif dapat dikatakan sebagai “brondong”.

Kurun waktu pertengahan tahun 2016 Jihad Alif mengakhiri masa SMA, kini tiba saatnya masuk jenjang pendidikan tinggi. Pada saat proses pendaftaran penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2016/2017 dia mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Pertamina–Jakarta. Jihad Alif diterima di Universitas Pertamina dengan predikat hasil test yang memuaskan, termasuk ke dalam kelompok dua puluh orang peserta terbaik. Dengan kuliah di Universitas Pertamina, peluang kerja setelah lulus kuliah tentu saja lebih besar karena kemungkinan akan diterima bekerja di PT. Pertamina (Persero). Namun demikian Jihad Alif tidak segera melakukan pendaftaran ulang, masih menunggu pengumuman hasil test masuk ITB dan UI. Dan ternyata nasib berkata lain, pendaftaran ke ITB dinyatakan tidak lulus, kini tinggal menunggu pengumuman hasil test penerimaan mahasiswa baru di UI.

Pada hari terakhir batas pendaftaran ulang di Universitas Pertamina, UI mengumukan hasil seleksi penerimaan mahasiswa barunya. Jihad Alif dinyatakan lulus dan diterima sebagai mahasiswa dalam program studi Teknik Industri pada Fakultas Teknik Unversitas Indonesia. Penulis melihat pengumuman tersebut saat sedang bekerja di kantor, dan saat itu pula penulis memanjatkan syukur ke hadirat Alloh SWT atas diterimanya Jihad Alif kuliah di UI, yang kemudian setelahnya dengan antusias kami mencari rumah kontrakan di Depok. Meskipun perjalanan Bogor–Depok dapat ditempuh dengan menggunakan kereta api, namun kami lebih memilih meng-kost-kan Jihad Alif di Depok dengan pertimbangan agar dapat lebih berkonsentrasi dalam mengikuti kegiatan kuliahnya.

Pada program studi Teknik Industri, Jihad Alif dan teman-temannya merupakan angkatan ke-16, dan dalam perkembangan selanjutnya, Jihad Alif diangkat sebagai Ketua Angkatan. Sama halnya dengan ketika masih di SMA, Jihad Alif sangat aktif berorganisasi di senat mahasiswa Fakultas Teknik, bahkan aktif melakukan unjuk rasa di Istana Merdeka, di Gedung DPR/MPR, di Gedung KPK, mengusung isu-isu strategis di tanah air. Pada bagian lain Jihad Alif aktif juga melakukan kegiatan kajian-kajian ilmiah di beberapa kementerian dan BUMN, misalnya di Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Negara BUMN, PT. PLN (Persero), dan BUMN lainnya. 

Pada aspek entertainment, Jihad Alif bersama teman-teman kuliahnya seringkali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia untuk menjelajah alam. Beberapa kali diantaranya perjalanan yang mereka lakukan bahkan sampai ke luar negeri seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina. begitu pun dalam pergaulan, Jihad Alif tidak membatasi dan membedakan strata sosial dalam pergaulannya, hampir semua kalangan dimasukinya. Akibat pergaulannya yang luas tersebut, Jihad Alif dapat menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa Inggris, Jerman, Francis. 


Pada masa awal kuliah di UI, Jihad Alif pernah dekat dengan seorang perempuan mahasiswa Fakultas Kedokteran, yang tidak lain adalah kakak kelasnya waktu sekolah di SMA Negeri 1 Bogor. Namun hubungan dekat keduanya hanya berjalan sekitar satu tahun saja. Setelah “putus” rupanya si “brondong” tidak kuat berlama-lama sendirian, kemudian Jihad Alif kembali dekat dengan seorang perempuan berdarah Minang alumni jurusan komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), yang tidak lain adalah kakak kelasnya juga waktu di SMA Negeri 1 Bogor. Hubungan dekat keduanya hingga saat ini masih terjalin dengan baik.

Memasuki pertengahan bulan Ramadhan tahun 2019, penulis dipindahtugaskan dari Direktorat Iuran dan Peredaran Hasil Hutan di Pusat (Jakarta) ke Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Palu di Provinsi Sulawesi Tengah. Uniknya selama penulis bertugas di Jakarta belum pernah sekali pun melakukan perjalanan dinas ke Provinsi Sulawesi Tengah. Padahal waktu itu penulis seringkali ditugaskan melakukan perjalanan dinas ke seluruh ibu kota provinsi yang ada di Indonesia, kecuali Palu. Penulis merasa nervous, apalagi waktu itu kota Palu baru delapan bulan saja sebelumnya dilanda bencana alam gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang menghancurkan kota. Terbayang-bayang di benak penulis waktu itu bagaimana kalau terjadi lagi gempa bumi dan likuefaksi. Dalam kondisi tersebut, Ninoy, Jihad Alif dan Madinah Alif, terus menyemangati penulis untuk berangkat menjalankan penugasan ke Kota Palu.    

Jihad Alif yang tadinya kost di Depok, penulis pulangkan ke rumah di Bogor. Kuliah biar pulang pergi saja Bogor-Depok, karena kebetulan setelah kurang lebih satu bulan penulis bertugas di Kota Palu, Jihad Alif melaksanakan kuliah praktek di PT. Indocement Tunggal Perkasa Tbk di Cibinong. Jarak tempuh Bogor-Cibinong, lebih dekat daripada jarak tempuh Depok-Cibinong. Kuliah praktek berlangsung sekitar satu setengah bulan, dan dilalui oleh Jihad Alif dengan sangat baik. Nilai yang didapatkannya rata-rata sembilan puluh delapan. Kemudian pada bulan Januari 2020, Jihad Alif mengikuti sidang skripsi dengan judul “Pemodelan Produksi Berkelanjutan di Industri Semen dengan Sistem Dinamis” yang dapat dilaluinya dengan sangat baik juga. Selepas sidang skripsi, sore harinya penulis menjemput Jihad Alif ke kampus UI, penulis mengucapkan selamat dan kemudian memeluknya dengan erat. Ada perasaan bangga dan haru menyelinap di hati penulis saat itu.


Pada hari Sabtu sore tanggal 1 Februari 2020, Jihad Alif diwisuda dihadapan civitas akademika Universitas Indonesia. Penulis dan Ninoy merasa begitu haru dan bangga menyaksikan prosesi wisuda tersebut. Jihad Alif lulus dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada program studi Teknik Industri dengan predikat “CUM LAUDE” yang dicapai hanya dalam waktu 3,5 tahun. Jihad Alif kini telah resmi menyandang gelar akademik Sarjana Teknik (S.T.), tiba saatnya untuk mendarmabaktikan ilmu yang didapatnya semasa kuliah, berkarya di tengah-tengah masyarakat untuk kemajuan bangsa dan negara, ikut serta membangun Indonesia.

Kini Jihad Alif telah menjadi bagian dari keluarga Ikatan Alumni Uinversitas Indonesia (Iluni-UI) dengan inisial 16-Industrial Engineering Universitas Indonesia (16-IEUI). Industrial Engineering Universitas Indonesia, where the science of engineering & management blends. Setelah kelulusannya, penulis, Ninoy, dan Madinah Alif senantiasa berdoa dan berharap segalanya yang terbaik bagi Jihad Alif.

HIDUP ADALAH MEMILIH, MAKA BAYARLAH HARGA ATAS PILIHANMU ITU, NAK !!

0 komentar