NUKILAN CERITA 16-IEUI
Akhir bulan November 1993, penulis beserta lima belas orang teman berangkat dari Jakarta menuju Ambon-Maluku.
Jarak perjalanan yang jauh tidak membuat kami merasa lelah, bahkan kami jalani
dengan riang gembira, karena perjalanan tersebut adalah perjalanan pertama
kalinya kami menuju dunia kerja. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan waktu itu, kami ditugaskan sebagai
Pengawas Hak Pengusahaan Hutan (Pengawas HPH) di Provinsi Maluku. Kami gembira karena
di usia yang relatif masih muda dan belum berkeluarga (belum menikah) sudah
berstatus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil yang nantinya bakal rutin menerima
gaji setiap bulan.
Setibanya di Ambon terlihat
bukit-bukit yang tampak menghijau dan kami senang, bahwa kami akan bekerja dan hidup
di sini, di kota yang dikelilingi laut yang jernih. Kami kabarkan kepada orang
tua masing-masing yang kami tinggalkan di Pulau Jawa, bahwa di Ambon kami semua
merasa happy. Berangkat dari kondisi itulah kami mulai menjalani hari-hari pengabdian
sebagai pegawai pemerintah di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi
Maluku yang dipekerjakan pada Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Maluku.
Tempat tinggal kami
menyebar di beberapa lokasi di kota Ambon, dan dalam perkembangannya beberapa
orang diantara kami kemudian menikah dengan gadis Ambon, gadis Ternate, bahkan
gadis Manado. Penulis sendiri menikah dengan gadis Bandung pada saat sedang
ditugaskan di Ternate setelah sekitar empat tahun bekerja di Provinsi Maluku. Penulis memanggil Gadis Bandung itu dengan panggilan Ninoy, yang kemudian penulis bawa serta ke kota
“Sultan Baabullah” tersebut. Namun tiga bulan setelah kedatangan Ninoy di
Ternate, penulis dipindahtugaskan kembali ke Ambon. Kami berdua tinggal di kawasan
Kebun Cengkeh.
Singkat cerita, pada
pertengahan bulan Juli 1997 perasaan kami campur aduk, ada rasa bahagia, ada
juga rasa haru. Penyebabnya adalah dokter spesialis kandungan yang berpraktek di
Jl. Tulukabessy–Ambon, yang kami kunjungi sore hari waktu itu memberitahu kami bahwa
Ninoy positif mengandung. Sebagai pasangan muda yang belum lama menikah, tentu
saja kehamilan Ninoy membuat kami sangat senang, dan menumbuhkan harapan baru bahwa
sembilan bulan kemudian di tengah-tengah kami akan hadir seorang bayi. Bahwa
tidak lama lagi kami akan menjadi bapak dan ibu dari anak kami. Meskipun waktu itu sedang terjadi krisis moneter yang meluluhlantakan
perekonomian Indonesia, kami tetap bergembira dan bersiap menyambut kehadiran
si jabang bayi.
Sejak saat itu Ninoy
menjalani hari-harinya dengan ditemani oleh seorang perempuan paruh baya yang
berasal dari Desa Sawai, yaitu sebuah desa yang terletak di Pulau Seram bagian
utara. Dengan merujuk ke daerah asalnya, kami berdua memanggilnya dengan
sebutan Nenek Sawai. Beliau memanggil saya dengan sebutan Bapak Jawa dan Ninoy
sebagai Mama Jawa. Kami mendapat panggilan seperti itu karena daerah asal kami
yaitu Jawa Barat. Beliau lah yang menemani Ninoy di rumah saat penulis sedang di
kantor atau pergi tugas dinas keluar Pulau Ambon. Kalau sedang menginap di
rumah kami, beberapa orang dari dua belas orang cucunya diajak serta menemani Ninoy. penulis merasa beruntung dengan kondisi demikian, dan sangat berterima kasih
sekaligus berutang budi kepada beliau, mengingat kami hidup di Ambon hanya
berdua saja jauh dari sanak saudara.
Pada masa selama kehamilan Ninoy, suasana politik-terutama
di Jakarta-sangat ramai, imbas dari krisis moneter yang sedang terjadi kala
itu. Unjuk rasa mahasiswa menuntut reformasi total di berbagai bidang terjadi
di kota-kota besar di tanah air, nilai tukar Rupiah terhadap US$ semakin tidak
terkendali, dan riak-riak kerusuhan unjuk rasa mahasiswa kami saksikan di layar
televisi. Namun dibalik hiruk pikuk suasana politik yang memanas tersebut,
justru dalam tidur malam penulis seringkali bermimpi yang kata orang-orang
berpertanda bagus. Penulis bermimpi tiga malam berturut-turut berjabat tangan dengan
Presiden Soeharto, bermimpi diberi bunga mawar merah oleh mbak Tutut (putri
pertama Presiden Soeharto), dan mimpi-mimpi lainnya yang membuat penulis merasa
takjub setelah bangun tidur pada pagi harinya.
Bulan April 1998 atau
kurang lebih satu bulan sebelum Presiden Soeharto mengundurkan diri dari tampuk
kekuasaan pemerintahan, menjelang Maghrib Ninoy mengalami pecah ketuban sebagai
tanda akan segera melahirkan. Dengan agak gugup, Ninoy penulis antar ke rumah sakit
bersama dengan Kang Umad Muhammad dan Teh Ai, sepasang suami istri yang sudah
kami anggap sebagai kakak sendiri, yang kebetulan mereka berasal dari Jawa
Barat juga. Penulis dan Kang Umad sama-sama bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Maluku yang dipekerjakan pada
Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Maluku. Kini beliau telah pindah tugas ke Tatar
Parahyangan sebagai Kepala Balai Pelatihan Pertanian Provinsi Jawa Barat
setelah sebelumnya menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pulau Buru.
Sekitar jam satu dini hari, bayi kami lahir dengan selamat melalui
persalinan operasi bedah caesar di sebuah rumah sakit milik Tentara Nasional
Indonesia (TNI) di kawasan Perigi Lima-Ambon. Bayi laki-laki yang sehat dengan
berat 3,6 kg dan tinggi 46 cm, yang kemudian kami beri nama Jihad Alif. Kami
telah menjadi seorang ibu dan seorang bapak dengan kehadiran Jihad Alif. Dengan
kondisi tubuh Ninoy yang masih dalam pemulihan pasca operasi, penulis mengambil
alih tugasnya menjaga bayi terutama jika memasuki malam hari. Rutinitas
mengganti popok, mengisi dot (botol) susu “VITALAC” yang telah habis, dan sekedar
membetulkan posisi tidur bayi, penulis jalani selama enam bulan penuh. Selama itu
pula penulis baru akan pergi tidur setelah melewati waktu Subuh.
Awal bulan Januari 1999,
saat Jihad Alif memasuki usia sembilan bulan, penulis mengambil cuti kantor dan melakukan
perjalanan mudik hari raya Idul Fitri ke Bandung. Namun entah apa yang terjadi
saat itu, meski kami telah mencari tiket tiga minggu sebelumnya, tapi semua
tiket pesawat telah habis. Kami beralih ke kapal PELNI, hasilnya sama saja,
tiket kelas I, II dan III, semuanya telah habis. Tapi daripada batal mudik,
akhirnya dengan terpaksa kami ambil tiket kapal PELNI kelas ekonomi, dengan
harapan setelah memasuki Pelabuhan Soekarno-Hatta di Ujung Pandang (waktu itu
Makassar masih bernama Ujung Pandang) kami bisa suplisi (naik kelas) tiket ke
kelas I, saat sebagian besar penumpang turun di Ujung Pandang.
Penulis masih ingat
bagaimana berjubel dan membludaknya penumpang yang saat itu akan naik ke kapal PELNI
bernama “RINJANI”. Dengan tangan kiri menjinjing koper pakaian dan tangan kanan
memegangi Jihad Alif yang masih berusia sembilan bulan yang penulis panggul di
pundak, penulis berdesakan dengan penumpang lainnya diikuti Ninoy yang juga
menjinjing koper pakaian dan peralatan bayi, menaiki tangga memasuki kapal yang
akan mengangkut kami. Rupanya semua itu belum usai, sampai di atas kapal kami mencari-cari
tempat tidur yang masih kosong, namun tidak satu pun tersisa, semuanya telah
terisi. Akhirnya dengan sangat terpaksa kami menggelar kain selimut di selasar kapal
bersama-sama dengan penumpang lainnya yang tidak kebagian tempat tidur.
Saat memasuki malam
harinya Ninoy dan Jihad Alif tertidur lelap karena kecapaian. Penulis pandangi
wajah keduanya dengan perasaan haru dan sekaligus marah pada keadaan,
kenapa kami harus mengalami hal seperti ini. Jihad Alif yang masih berusia sembilan
bulan mesti kami relakan tidur di selasar kapal, ini keadaan yang sangat tidak
adil fikir penulis. Bagi penulis, itu sebuah pengalaman yang tidak bisa terlupakan hingga
saat ini. Namun setelah pecah kerusuhan sektarian di Ambon, penulis baru mengerti
setelah mendengar desas-desus bahwa kondisi tersebut terjadi karena terjadinya eksodus
besar-besaran sebagian kalangan yang telah mendengar terlebih dahulu mengenai
isu-isu akan terjadinya kerusuhan di hari raya Idul Fitri tahun 1999, sehingga se-bisa
dan se-segera mungkin mereka meninggalkan kota Ambon. Hal inilah yang membuat
tiket moda transportasi udara dan laut habis terjual jauh hari sebelumnya.
Lima hari empat malam
kami berlayar dari Pelabuhan Yos Sudarso di Ambon menuju Pelabuhan Tanjung
Priok di Jakarta dengan singgah di pelabuhan Makassar, pelabuhan Baubau, dan
pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Hari-hari kami di atas kapal disibukan
dengan membaca, menyeduh susu bayi, mengganti popok bayi, dan sesekali
nongkrong minum kopi di cafeteria yang terletak di geladak kapal. Perjalanan
yang terasa sangat panjang karena dibarengi perasaan ingin segera tiba di
Bandung. Akhirnya waktu yang ditunggu–tunggu pun tiba, tepat menjelang siang di
hari kelima, “RINJANI” yang kami tumpangi sandar di pelabuhan Tanjung Priok.
Turun dari kapal kami dijemput oleh oom Sistomo, seorang paman Ninoy yang
kebetulan saat itu bertugas di kesatuan Polisi Perairan dan Udara MABES POLRI
(terakhir beliau menjabat sebagai Direktur POLAIRUD Polda Aceh hingga memasuki
masa pensiun). Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Bandung menggunakan
mobil milik oom Sistomo dengan diantar oleh sopir beliau.
Kedatangan kami di
Bandung disambut dengan sangat senang oleh sanak keluarga, terutama oleh kakek
dan neneknya Jihad Alif. Bahkan kakeknya (bapak mertua penulis) selama dua hari
itu meliburkan diri (tidak masuk kerja) dari kantornya di PT. Perkebunan
Nusantara VIII, sebuah BUMN yang fokus usahanya perkebunan Teh di Bandung
Selatan, hanya untuk menyambut kedatangan cucunya. Demikian juga dengan neneknya
(ibu mertua penulis), membebastugaskan Ninoy dari kewajibannya sebagai seorang
ibu, segala kewajiban kami sebagai orang tua diambil alih oleh mertua, maka
selama di Bandung kami berdua menjadi “pengangguran”.
Pada saat merayakan Idul
Fitri tahun 1999 di Bandung, kami melihat berita di televisi terjadi kerusuhan
di Ambon. Kami mengira hanya kerusuhan biasa saja, namun ternyata kerusuhan semakin
melebar dan menjadi konflik sektarian. Banyak korban jiwa di kedua belah pihak.
Oleh karena itu meski masa cuti penulis telah habis, kami pun menunda
keberangkatan pulang kembali ke Ambon, menunggu suasana kembali reda dan
kondusif. Akibat kerusuhan yang massif dan berkepanjangan inilah, penulis baru
dapat kembali ke Ambon pada bulan Maret 1999. Penulis pergi sendirian dengan
meninggalkan Ninoy dan Jihad Alif di Bandung. Selama kurang lebih enam bulan
berada tengah-tengah kerusuhan, siang dan malam penulis mesti tetap waspada dan
siap siaga jika tiba-tiba saja kerusuhan terjadi di tempat kami tinggal. Hingga
akhirnya pada bulan September 1999, penulis dipindahtugaskan dari Ambon ke Bandar
Lampung.
Pada masa awal tugas di
Bandar Lampung, bukanlah masa-masa yang mudah bagi kami. Bagaimana tidak, waktu
itu kami berempat yaitu penulis, Ir. Jaya Atmaja, MM., Dr. Abdul Kodir, MM., Dedi,
SAP., M.Si datang dari Ambon ke Bandar Lampung dengan tidak dalam kondisi
normal. Rumah dan harta benda lainnya yang kami miliki ditinggalkan begitu saja
di Ambon, dan kantor di Bandar Lampung benar-benar baru berdiri. Hanya ada dua
kursi dan dua meja kerja di sebuah gedung milik Gugus Depan Pramuka Saka
Wanabakti yang dialihfungsikan menjadi kantor kami. Kami berempat bersama dengan
Kepala Kantor benar-benar mendirikan sebuah kantor lembaga yang baru dibentuk bernama
Loka Eksploitasi Hutan dan Pengujian Hasil Hutan (LEHPHH) yang kemudian
bertransformasi menjadi Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan (BSPHH), dan
terakhir bernama Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP). Dengan anggaran dana yang
sangat terbatas dan tugas pokok baru yang harus dilaksanakan segera, kami
benar-benar memulainya dari nol.
Setelah sekitar delapan
bulan bertugas di Bandar Lampung, kondisi “susah” yang kami alami belum juga berhenti,
karena selama itu pula kami tidak menerima gaji sebagaimana layaknya seorang
Pegawai Negeri Sipil. Kondisi di Ambon yang belum juga kondusif membuat
bendahara gaji kesulitan mengurus proses pemindahan gaji kami ke Bandar
Lampung. Dengan tidak gajian, dan harus menyiapkan susu bubuk “VITALAC” untuk Jihad
Alif yang tidak boleh terlambat, penulis harus memutar otak lebih kencang agar
dapat bertahan hidup di tempat baru. Kami baru bisa menerima gaji secara normal
setelah delapan bulan sejak pindah tugas dari Ambon.
Malam Minggu di bulan
Agustus 2002, penulis dan Ninoy serta Jihad Alif jalan-jalan ke sebuah pasar malam
dekat komplek perumahan yang kami tinggali di kawasan Way Halim. Niatnya hanya untuk
jalan-jalan, tidak ada niat lain, bahkan untuk sekedar jajan bakso saja kami mesti
berfikir dua kali, karena kami sedang tidak punya uang. Tapi saat berada di
depan sebuah gerai pakaian olah raga, Jihad Alif berhenti dan menggamit tangan penulis. Dipandanginya satu per satu baju kaos di gerai itu, yang kebetulan baju
kaos yang dijajakan kebanyakan jersey Persib Bandung, dari ukuran anak-anak
hingga dewasa. Dengan suara yang agak ditahan Jihad Alif bertanya kepada penulis; “Pak, boleh nggak Alif beli ini?” sambil menunjuk baju kaos bernomor punggung 6
bertuliskan nama Robby Darwis (pemain Persib Bandung). Mendapati pertanyaan
seperti itu, penulis merasa terharu. Dalam hati penulis, ini anak meskipun baru
berusia empat tahun, mungkin sudah tahu bapaknya sedang tidak punya uang, sehingga
hanya untuk membeli sebuah baju kaos saja mesti bertanya terlebih dahulu boleh
apa tidak. Sejurus kemudian permintaan Jihad Alif penulis iyakan, dan dengan sisa uang yang ada yang sebelumnya kami
hemat-hemat, malam itu penulis belikan Jihad Alif sebuah baju kaos Persib Bandung.
Jihad Alif terlihat senang dan di hari-hari berikutnya baju kaos tersebut
kemudian sering dikenakannya.
Berangkat dari kondisi
demikian, dengan uang yang tidak seberapa, penulis bersama dengan Ade
Sutaji, S.Sos yang baru saja pindah tugas dari BSPHH Manokwari ke BSPHH Bandar
Lampung, dan dua orang petani bernama mang Arnen dan mang Tasna yang rumah
tinggalnya di dekat kantor, kami berkebun sayuran di lahan nganggur milik PT.
PLN (Perseoro). Lahan yang kami manfaatkan kurang lebih seluas satu hektar
dengan komoditi yang kami tanam yaitu kangkung dan bayam. Penulis dan Ade Sutaji,
S.Sos sebagai pemodal, sedangkan mang Arnen dan mang Tasna sebagai penggarap,
hasilnya kami bagi empat, terasa cukup adil bukan?. Biasanya selepas pulang jam
kantor, penulis pergi ke kebun mengamati pertumbuhan sayuran yang kami budidayakan
sambil sesekali memberi arahan apa yang harus dikerjakan oleh mang Arnen dan mang
Tasna.
Sayuran segar kangkung
dan bayam yang dipanen kami pasok ke supermarket “GELAEL”, dan sebagian lainnya
kami jual ke pasar tradisional “BAMBU KUNING”. Dalam perkembangannya, jenis
sayuran yang kami tanam semakin beragam, ada caisim, pakcoy, capcay, dan
kembang kol. Pasarnya pun tidak hanya ke GELAEL dan BAMBU KUNING, kami pasok
juga pasar tradisional “WAY HALIM”. Namun sayangnya, aktivitas berkebun
tersebut terhenti pada akhir tahun 2002. Penyebabnya adalah hama yang menyerang
tanaman kembang kol membuat panen kami tidak seperti yang diharapkan, sehingga
keuntungan yang sudah kami hitung-hitung dari awal berbalik menjadi kerugian.
Memasuki bulan Maret
2003, kami pindah tempat tinggal dari kawasan Way Halim ke kawasan Kemiling.
Kebetulan waktu itu penulis dapat rumah baru tanpa uang muka dari Koperasi Perumahan
Wanabakti Nusantara (KPWN) dan pembayarannya diangsur dengan cara dipotong
gaji. Dan karena kebutuhan susu bubuk “VITALAC” Jihad Alif semakin hari semakin
meningkat, penulis pun kembali berkebun, tapi kali ini hanya di samping rumah,
memanfaatkan lahan pekarangan yang belum dibangun kurang lebih seluas seratus
meter persegi (luas tanah rumah kami sekitar seratus delapan puluh enam meter
persegi).
Penulis dan Ninoy mendirikan nursery anggrek bulan bernama “NALENDRA ORCHIDS”, yang kemudian dari hasil bertani anggrek inilah kondisi ekonomi rumah tangga kami menjadi lebih baik. Nursery kami mendapat apresiasi dari Gubernur Lampung waktu itu. Pelanggan kami selain berasal dari Bandar Lampung, juga berasal dari Jakarta, Palembang, Jambi, bahkan Pekanbaru dan Bengkulu.
Bibit anggrek yang
dibudidayakan kami beli dari Rumah Bunga Rizal di Lembang-Bandung. Apabila
kebetulan sedang pulang ke Bandung, dengan ditemani adik ipar (suami adiknya
Ninoy) penulis selalu mengunjungi Rumah Bunga Rizal. Penulis betah berlama-lama
ngobrol tentang berbagai hal mengenai anggrek dengan teman dan sekaligus guru penulis yaitu Bapak Rizal Djaafarer, pemilik Rumah Bunga Rizal. Beliau seorang
penyilang anggrek kenamaan yang sudah malang melintang di dunia anggrek sejak
dekade tahun tujuh puluhan, yang mana anggrek-angrek hasil silangan beliau
kualitasnya diakui di tingkat Asia Tenggara. Bapak Rizal Djaafarer sosok yang
menginspirasi dan memotivasi penulis dalam hal entrerpreneur. Dari beliau inilah penulis banyak belajar mengenai inovasi dan kreatifitas dalam budidaya tanaman
hias khususnya anggrek.
Dalam pada itu Ninoy juga turut membantu menggerakan roda ekonomi rumah
tangga kami dengan berjualan alat-alat keperluan rumah tangga yang kami ambil dengan cara ngutang kepada salah satu kerabat kami yang tinggal di Bandar Lampung. Kemudian alat-alat keperluan rumah tangga berupa sendok, piring, garpu, gelas, mangkuk, rice cooker (magicom) tersebut dikreditkan kepada teman-temanya dan juga tetangga. Waktu itu omzet
penjualannya cukup bagus mencapai puluhan juta Rupiah.
Pertengahan tahun 2004,
Jihad Alif memasuki usia Sekolah Dasar (SD). Penulis dan Ninoy sepakat
menyekolahkan Jihad Alif ke salah satu sekolah swasta unggulan terbaik di Bandar
Lampung. Kami daftarkan di SD “Al Kautsar”, sekolah yang bernaung di sebuah
Lembaga Perguruan Islam ternama di Bandar Lampung, yang mana jenjang pendidikan
di sana tersedia mulai SD hingga SMA. Sebenarnya di dekat komplek perumahan
tempat kami tinggal terdapat dua SD yang kualitasnya cukup bagus, namun dengan
pertimbangan untuk masa depan Jihad Alif, meskipun SD Al Kautsar jaraknya cukup
jauh, keputusan itu kami ambil, kami berfikir bahwa Jihad Alif harus belajar di
sekolah terbaik. Sebagai tambahan pelajaran di sekolah, Jihad Alif kami ikutkan
juga dalam bimbingan/les pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, dan Science
selepas jam sekolah.
Berkaitan dengan les mata
pelajaran sekolah ini penulis pernah mengalami kepanikan yang luar biasa. Ceritanya
siang itu Ninoy menelepon menyampaikan bahwa Jihad Alif belum pulang ke rumah
seperti biasanya. Segara saja sambungan telepon penulis tutup dan bergegas pergi
ke SD Al-Kautsar untuk menanyakan keberadaan Jihad Alif ke sopir abodemen bernama
oom Sumanto yang tiap hari mengantar Jihad Alif pulang-pergi sekolah. Oom
Sumanto menjawab bahwa Jihad Alif hari itu pulang tidak ikut abodemen karena
mengikuti les di rumah salah satu gurunya. Penulis datangi wali kelas Jihad Alif
di kantornya dan menanyakan apakah siswa kelas IV-D sudah bubar, dan dijawabnya
sudah bubar sesuai jadwal. Kepanikan penulis semakin menjadi-jadi, kemudian penulis datangi rumah gurunya Jihad Alif tempat di mana dia ikut les, dijawab gurunya
sudah pulang juga. Lantas anak ini pergi ke mana?, penulis merasakan kepanikan
yang luar biasa, dan berfikir jangan-jangan Jihad Alif hilang diculik.
Di tengah kepanikan itu penulis kendarai mobil dengan kencang menuju rumah sambil terus berdoa agar tidak
terjadi apa-apa dengan Jihad Alif. Begitu sampai di rumah penulis bisa bernafas
lega, alhamdulilah Jihad Alif ternyata baru saja sampai pulang ke rumah, yang
ternyata setelah selesai mengikuti les itu dia diajak pulang oleh seorang ibu tetangga
komplek perumahan kami. Emosi akibat rasa panik tadi penulis tumpahkan dengan
sedikit marah kepada Jihad Alif, penulis tanya kenapa tidak memberitahu ada yang
mengajak pulang, kenapa begini, kenapa begitu, penulis sampaikan bertubi-tubi.
Diberondong pertanyaan dengan nada marah seperti itu, mata Jihad Alif terlihat
berkaca-kaca. Penulis istighfar dan tersadar bahwa itu cara yang salah, akhirnya penulis peluk Jihad Alif dengan sangat erat, penulis ciumi dia, sembari bersyukur
bahwa anak kami telah ditemukan kembali.
Pada awal tahun 2006,
Jihad Alif mendapatkan seorang adik perempuan. Ya, Ninoy melahirkan anak ketiga
kami (pada tahun 2002 anak kedua kami meninggal dalam kandungan karena
keguguran). Adiknya Jihad Alif kami beri nama Madinah Alif. Rumah tangga kami
semakin ramai dengan kehadiran Madinah Alif. Lengkap sudah, anak yang satu berjenis
kelamin laki-laki dan anak satunya lagi berjenis kelamin perempuan. Ninoy melahirkan
Madinah Alif ditemani oleh Ibu Rita Ambarwati (istri dari bapak Ir. Jaya
Atmaja, MM yang bersama-sama kami pindahan dari Ambon ke Bandar Lampung). Ninoy
melahirkan Madinah Alif dengan kembali melalui operasi bedah caesar untuk
ketiga kalinya di sebuah rumah sakit di kawasan Jl. Urip Sumoharjo-Bandar
Lampung. Madinah Alif lahir dengan berat 4,1 kilogram dan dengan kulit berwarna
kuning langsat, terlihat bongsor. Cerita mengenai Madinah Alif akan penulis tuangkan dalam tulisan berikutnya.
Pada kurun waktu pertengahan
tahun 2009, menjelang kenaikan kelas Jihad Alif dari kelas V ke kelas VI, penulis pindah tugas dari BSPHH Bandar Lampung ke Pusat (Jakarta), tepatnya ke
Direktorat Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal
Bina Usaha Kehutanan, di Gedung Pusat Kehutanan Manggala Wanabakti. Kami
memulai lagi kehidupan baru di tempat baru, dan setelah penulis bicarakan dengan Ninoy,
meski penulis nantinya berkantor di Jakarta tapi untuk tempat tinggal kami pilih
di Bogor. Untuk sementara, sambil mencari rumah di Bogor, Ninoy, Jihad Alif dan
Madinah Alif tinggal di Bandung, sedangkan penulis tinggal di kawasan
Cawang–Jakarta Timur, ikut menumpang adik ipar Ninoy yang kebetulan sudah lama
tinggal di sana. Setelah menerima raport kenaikan kelas dan segala macam
administrasi pindah sekolah, kami pun berangkat menuju Bandung. Anggrek yang
ada di nursery, kami jual semuanya kepada pelanggan lama yang biasa membeli
anggrek di tempat kami.
Pada saat menjelang pergi,
dengan dilepas oleh para tetangga, sore itu penulis pandangi rumah yang selama ini
kami tinggali, terasa sedih dan berat, bahkan waktu itu tidak terasa penulis menitikan
air mata. Dalam perjalanan menuju Bandung, terbayang oleh penulis suka duka selama
tinggal di Bandar Lampung. Namun apa boleh buat, fikir penulis inilah jalan hidup
kami. Selanjutnya Jihad Alif meneruskan sekolahnya di SD Negeri Nata Endah I, di
kawasan Kopo, Margahayu, Bandung. Selama setahun, setiap minggu penulis pulang-pergi Bandung–Jakarta, hari senin pagi pergi ke Jakarta, dan hari Jumat
sore pulang ke Bandung. Aktivitas tersebut penulis jalani sampai Jihad Alif lulus
SD di Bandung.
Menjelang akhir tahun
2009 kami sudah mendapatkan rumah di Bogor, sudah kami rehab di beberapa bagian
dan sudah siap dihuni. Maka pada bulan Juni 2010, setelah Jihad Alif lulus SD di Bandung, kami pindah rumah ke Bogor. Penulis bisa kembali
bersama Ninoy, Jihad Alif dan Madinah Alif setiap hari di rumah (kecuali pada
saat penulis sedang tugas dinas ke luar Jakarta, yang waktunya rata-rata hanya
seminggu, misalnya ke pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua). Untuk
sekolah Jihad Alif yang telah memasuki jenjang SMP, lagi-lagi kami sepakat menyekolahkannya
di sekolah terbaik, dan setelah bertanya kepada teman-teman kantor yang
kebetulan tempat tinggalnya di Bogor, kami daftarkan Jihad Alif ke SMP Negeri 4
Bogor, yang waktu itu merupakan sekolah dengan predikat Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional, dan Alhamdulillah langsung diterima saat itu juga. Selama
menempuh pendidikan di SMP Negeri 4 Bogor, banyak prestasi yang diraih Jihad
Alif, baik sebagai individu maupun sebagai tim sekolah, baik dalam event
internal sekolah maupun event eksternal.
Setelah tiga tahun
menempuh jenjang pendidikan SMP dan dinyatakan lulus, kami berkeinginan agar
kelak nantinya Jihad Alif kuliah di Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung
(ITB) dengan program studi Teknik Sipil. Oleh karena itu kami bermaksud mendaftarkan
sekolah Jihad Alif di SMA Negeri 3 Bandung, karena berdasarkan informasi yang
kami dengar bahwa setiap tahunnya sebagian besar siswa lulusan SMA Negeri 3
Bandung diterima kuliah di ITB. Pertimbangan kami saat itu sederhana sekali,
yaitu melihat pamannya Jihad Alif (suami dari adiknya Ninoy) yang alumni Teknik
Sipil ITB, yang hanya dengan bekerja di rumah saja bisa mendapatkan penghasilan
yang besar setiap bulannya. Alangkah enaknya fikir penulis.
Namun ternyata, seleksi
masuk ke SMA Negeri 3 Bandung sangat ketat, dan kuota penerimaan siswa dari
luar kota Bandung hanya beberapa orang saja. Lagipula yang mendaftar tidak
hanya kami, tapi banyak juga yang berasal dari luar Pulau Jawa, ada yang dari Sumatera
Barat, Sulawesi Selatan, juga Kalimantan Selatan. Akhirnya kami putuskan Jihad
Alif melanjutkan sekolahnya di Bogor saja dan kami daftarkan di SMA Negeri 1
Bogor yang juga berpredikat sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Sama
halnya dengan ketika masih di SMP, banyak prestasi yang diraih Jihad Alif
ketika di SMA, dan juga sangat aktif di kegiatan OSIS SMA Negeri 1 Bogor.
Pada masa SMA inilah
Jihad Alif mulai mengenal yang namanya cinta monyet, terhitung beberapa kali
dia cukup dekat dengan beberapa teman perempuan SMA-nya, dan kami sebagai orang
tua dapat memakluminya selama tidak menggangu kegiatan belajarnya. Kalau
diperhatikan, hampir semua teman perempuan yang pernah dekat dengannya adalah
kakak kelasnya. Teman perempuan seangkatan yang pernah dekat dengannya hanya
pada masa SMP saja, dan setelah masa SMA semua teman dekatnya adalah kakak
kelasnya. Meminjam istilah anak-anak zaman sekarang, Jihad Alif dapat dikatakan
sebagai “brondong”.
Kurun waktu pertengahan
tahun 2016 Jihad Alif mengakhiri masa SMA, kini tiba saatnya masuk jenjang
pendidikan tinggi. Pada saat proses pendaftaran penerimaan mahasiswa baru tahun
akademik 2016/2017 dia mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB),
Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Pertamina–Jakarta. Jihad Alif diterima
di Universitas Pertamina dengan predikat hasil test yang memuaskan, termasuk ke
dalam kelompok dua puluh orang peserta terbaik. Dengan kuliah di Universitas
Pertamina, peluang kerja setelah lulus kuliah tentu saja lebih besar karena kemungkinan
akan diterima bekerja di PT. Pertamina (Persero). Namun demikian Jihad Alif
tidak segera melakukan pendaftaran ulang, masih menunggu pengumuman hasil test
masuk ITB dan UI. Dan ternyata nasib berkata lain, pendaftaran ke ITB
dinyatakan tidak lulus, kini tinggal menunggu pengumuman hasil test penerimaan
mahasiswa baru di UI.
Pada hari terakhir batas
pendaftaran ulang di Universitas Pertamina, UI mengumukan hasil seleksi
penerimaan mahasiswa barunya. Jihad Alif dinyatakan lulus dan diterima sebagai
mahasiswa dalam program studi Teknik Industri pada Fakultas Teknik Unversitas
Indonesia. Penulis melihat pengumuman tersebut saat sedang bekerja di kantor, dan
saat itu pula penulis memanjatkan syukur ke hadirat Alloh SWT atas diterimanya Jihad
Alif kuliah di UI, yang kemudian setelahnya dengan antusias kami mencari rumah
kontrakan di Depok. Meskipun perjalanan Bogor–Depok dapat ditempuh dengan
menggunakan kereta api, namun kami lebih memilih meng-kost-kan Jihad Alif di
Depok dengan pertimbangan agar dapat lebih berkonsentrasi dalam mengikuti
kegiatan kuliahnya.
Pada program studi Teknik Industri, Jihad Alif dan teman-temannya
merupakan angkatan ke-16, dan dalam perkembangan selanjutnya, Jihad Alif
diangkat sebagai Ketua Angkatan. Sama halnya dengan ketika masih di SMA, Jihad Alif
sangat aktif berorganisasi di senat mahasiswa Fakultas Teknik, bahkan aktif
melakukan unjuk rasa di Istana Merdeka, di Gedung DPR/MPR, di Gedung KPK,
mengusung isu-isu strategis di tanah air. Pada bagian lain Jihad Alif aktif
juga melakukan kegiatan kajian-kajian ilmiah di beberapa kementerian dan BUMN,
misalnya di Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Negara
BUMN, PT. PLN (Persero), dan BUMN lainnya.
Pada aspek entertainment, Jihad Alif
bersama teman-teman kuliahnya seringkali melakukan perjalanan ke berbagai
daerah di Indonesia untuk menjelajah alam. Beberapa kali diantaranya perjalanan
yang mereka lakukan bahkan sampai ke luar negeri seperti Singapura, Thailand,
Malaysia, dan Filipina. begitu pun dalam pergaulan, Jihad Alif tidak membatasi dan membedakan strata sosial dalam pergaulannya, hampir semua kalangan dimasukinya. Akibat pergaulannya yang luas tersebut, Jihad Alif dapat menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa Inggris, Jerman, Francis.
Pada masa awal kuliah di
UI, Jihad Alif pernah dekat dengan seorang perempuan mahasiswa Fakultas
Kedokteran, yang tidak lain adalah kakak kelasnya waktu sekolah di SMA Negeri 1
Bogor. Namun hubungan dekat keduanya hanya berjalan sekitar satu tahun saja. Setelah
“putus” rupanya si “brondong” tidak kuat berlama-lama sendirian, kemudian Jihad
Alif kembali dekat dengan seorang perempuan berdarah Minang alumni jurusan
komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM),
yang tidak lain adalah kakak kelasnya juga waktu di SMA Negeri 1 Bogor.
Hubungan dekat keduanya hingga saat ini masih terjalin dengan baik.
Memasuki pertengahan bulan Ramadhan
tahun 2019, penulis dipindahtugaskan dari Direktorat Iuran dan Peredaran Hasil
Hutan di Pusat (Jakarta) ke Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Palu di Provinsi
Sulawesi Tengah. Uniknya selama penulis bertugas di Jakarta belum pernah sekali
pun melakukan perjalanan dinas ke Provinsi Sulawesi Tengah. Padahal waktu itu penulis seringkali ditugaskan melakukan perjalanan dinas ke seluruh ibu kota provinsi
yang ada di Indonesia, kecuali Palu. Penulis merasa nervous, apalagi waktu itu kota
Palu baru delapan bulan saja sebelumnya dilanda bencana alam gempa bumi,
tsunami, dan likuefaksi yang menghancurkan kota. Terbayang-bayang di benak penulis waktu itu bagaimana kalau terjadi lagi gempa bumi dan likuefaksi. Dalam kondisi
tersebut, Ninoy, Jihad Alif dan Madinah Alif, terus menyemangati penulis untuk
berangkat menjalankan penugasan ke Kota Palu.
Jihad Alif yang tadinya
kost di Depok, penulis pulangkan ke rumah di Bogor. Kuliah biar pulang pergi saja
Bogor-Depok, karena kebetulan setelah kurang lebih satu bulan penulis bertugas di Kota
Palu, Jihad Alif melaksanakan kuliah praktek di PT. Indocement Tunggal Perkasa
Tbk di Cibinong. Jarak tempuh Bogor-Cibinong, lebih dekat daripada jarak tempuh
Depok-Cibinong. Kuliah praktek berlangsung sekitar satu setengah bulan, dan
dilalui oleh Jihad Alif dengan sangat baik. Nilai yang didapatkannya rata-rata sembilan
puluh delapan. Kemudian pada bulan Januari 2020, Jihad Alif mengikuti sidang
skripsi dengan judul “Pemodelan Produksi Berkelanjutan di Industri Semen dengan
Sistem Dinamis” yang dapat dilaluinya dengan sangat baik juga. Selepas sidang
skripsi, sore harinya penulis menjemput Jihad Alif ke kampus UI, penulis mengucapkan selamat
dan kemudian memeluknya dengan erat. Ada perasaan bangga dan haru menyelinap di hati penulis saat itu.
Pada hari Sabtu sore tanggal
1 Februari 2020, Jihad Alif diwisuda dihadapan civitas akademika Universitas
Indonesia. Penulis dan Ninoy merasa begitu haru dan bangga menyaksikan prosesi
wisuda tersebut. Jihad Alif lulus dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada program studi Teknik Industri dengan predikat “CUM LAUDE” yang dicapai hanya dalam waktu 3,5 tahun. Jihad
Alif kini telah resmi menyandang gelar akademik Sarjana Teknik (S.T.), tiba saatnya
untuk mendarmabaktikan ilmu yang didapatnya semasa kuliah, berkarya di
tengah-tengah masyarakat untuk kemajuan bangsa dan negara, ikut serta membangun
Indonesia.
Kini Jihad Alif telah
menjadi bagian dari keluarga Ikatan Alumni Uinversitas Indonesia (Iluni-UI) dengan
inisial 16-Industrial Engineering Universitas Indonesia (16-IEUI). Industrial Engineering Universitas Indonesia, where the science of engineering & management blends. Setelah
kelulusannya, penulis, Ninoy, dan Madinah Alif senantiasa berdoa dan berharap segalanya
yang terbaik bagi Jihad Alif.
HIDUP ADALAH MEMILIH, MAKA BAYARLAH
HARGA ATAS PILIHANMU ITU, NAK !!
0 komentar
EmoticonEmoticon