Thursday, December 2, 2021

Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Susu Sapi Segar

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI SUSU SAPI SEGAR

Kebutuhan susu sapi segar nasional untuk keperluan konsumsi selama tahun 2019 sesuai data rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2021 seperti dimuat harian “KOMPAS” edisi tanggal 1 Juni 2021 sebanyak 4.332.880 ton. Produksi susu sapi segar dalam negeri selama tahun 2019 “hanya” sekitar 957.220 ton yang dihasilkan dari sekitar 561.061 ekor sapi perah. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadi kekurangan pasokan sekitar 3.375.660 ton, dan untuk mencukupinya saat itu dipenuhi dengan susu sapi segar hasil impor yang volumenya mencapai 3.380.400 ton. Dengan berat massa susu sapi di kisaran angka 1,03 kg/liter, maka defisit susu sapi segar nasional selama tahun 2019 mencapai 3.281.941.747,57 liter.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/01/062500065/hari-susu-sedunia-1-juni-2021--tingkat-konsumsi-susu-penduduk-indonesia

Begitu pun dengan kondisi yang nyaris sama terjadi selama tahun 2020, yang mana kebutuhan susu sapi segar untuk konsumsi secara nasional sebanyak 4.385.730 ton, sedangkan produksi susu sapi segar dalam negeri selama tahun 2020 “hanya” sekitar 997.350 ton yang dihasilkan dari sekitar 584.582 ekor sapi perah, sehingga masih terjadi kekurangan pasokan sekitar 3.388.380 ton, dan untuk mencukupinya, lagi-lagi dipenuhi dengan susu sapi segar impor dengan volume impor selama tahun 2020 mencapai 3.392.760 ton atau setara dengan 3.293.941.747,57 liter.

Bahwa produksi susu sapi segar dalam negeri belum bisa mencukupi kebutuhan secara nasional. Untuk tahun 2020 saja hanya dapat memenuhi sekitar 22,74% kebutuhan sehingga terjadi defisit sebesar 77,26%. Beberapa literatur menyebutkan bahwa kendala pengembangan produksi susu sapi nasional diantaranya adalah terbatasnya lahan, tentu selain kendala teknologi budidaya dan kendala-kendala lain misalnya aspek permodalan, karena akses kredit perbankan yang masih sulit ditembus oleh para peternak, terutama peternak skala kecil.

Berkenaan dengan masalah lahan, sejak tahun 2009 sebenarnya Pemerintah - dalam hal ini Kementerian Kehutanan - telah menerbitkan regulasi berupa Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menut-II/2009 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvopastura pada Hutan Produksi (IUPK-SP). Dalam regulasi tersebut diatur tata cara pemanfaatan kawasan hutan produksi yang tidak produktif untuk kegiatan usaha peternakan (Sulvopastura) meliputi tata cara permohonan, hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi oleh Pemegang IUPK-SP. IUPK-SP dimaksud dapat diberikan kepada pemohon dalam bentuk Perorangan atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI) atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Regulasi selanjutnya mengenai Silvopastura diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/Menlhk-II/2015 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvopastura pada Hutan Produksi. Dalam regulasi ini diatur salah satunya mengenai sumber permodalan yang dapat berasal dari investor luar negeri. Dalam skema yang diatur dalam P.14/Menlhk-II/2015, peternak (khususnya korporasi besar) dapat diberikan izin untuk menguasai lahan sampai dengan seluas 500 (lima ratus) hektar. Dengan regulasi ini, peternak tidak perlu keluar banyak biaya untuk membeli atau menyewa lahan, yang tentu saja - jika menyewa/membeli lahan yang dimiliki masyarakat - perlu biaya yang sangat besar. Lahan seluas 500 hektar tersebut bisa diusahakan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun dan nantinya (setelah habis masa berlaku) masih bisa diperpanjang.

Untuk menguasai lahan seluas 500 (lima ratus) hektar selama 20 (dua puluh) tahun, peternak hanya perlu keluar dana sejumlah Rp2.000/hektar/tahun untuk pembayaran Iuran IUPK-SP yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dalam perkembangannya, pasca terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, yang merupakan regulasi turunan atas pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kini pemberian perizinan berusaha pemanfaatan hutan diberikan dengan konsep multiusaha kehutanan.

Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dapat melakukan beragam kegiatan usaha pemanfaatan hutan tanpa mengurus perizinan secara sendiri-sendiri menurut jenis komoditi yang diusahakannya. Beragam kegiatan usaha dapat dilaksanakan di areal izin yang dimilikinya cukup hanya dengan mencantumkan rencana kegiatan usahanya dalam Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH) dalam 1 (satu) PBPH. Dengan beleid terbaru tersebut, kegiatan Sylvopastura yang basis usahanya berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (HHK) atau dengan ragam komoditi HHBK lainnya..  

gambar : andirerei.com

PT. Ultra Sumatera Dairy Farm (PT. USDF) adalah salah satu anak usaha dari PT. Ultra Jaya Milk Industry Tbk. PT USDF merupakan salah satu pemegang IUPK-SP sejak tahun 2012, berlokasi di Desa Pertibi Tembe Kecamatan Merek Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara di atas lahan kawasan Hutan Produksi seluas ± 73 hektar. Dalam kesempatan mengikuti kegiatan Rapat Kerja Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Kota Medan yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah II Medan pada bulan Oktober 2021, penulis mengikuti salah satu agenda kegiatan acara rapat kerja tersebut yaitu kunjungan lapangan ke lokasi IUPK-SP PT. USDF, yang berjarak sekitar 3 (tiga) jam perjalanan darat menggunakan kendaraan Bus dari Kota Medan. 

PT. USDF saat ini mempekerjakan 130 (seratus tiga puluh) orang karyawan untuk menangani kegiatan dari mulai perencanaan hingga pengolahan susu sapi segar. Jika 1 (satu) orang karyawan mempunyai 1 (satu) orang isteri dan 2 (dua) orang anak, maka ada 520 orang yang “hidup” di situ, di lahan usaha yang “hanya” seluas sekitar 73 hektar kawasan hutan. Belum lagi efek ekonomi bagi keluarga petani Jagung pemasok pakan ternak di sekitar lokasi PT. USDF yang jumlahnya cukup banyak (penulis tidak mendapatkan data jumlah petani Jagung yang riil yang pasti). Fungsi ekonomi dan fungsi sosial kawasan hutan menjadi nyata.

Kegiatan usaha Sylvopastura PT. USDF terbilang cukup modern dengan menggunakan sarana dan peralatan yang cukup lengkap dengan supervisor seorang tenaga ahli (Sapi) dari luar negeri. Sapi perah yang dikembangkan oleh PT. USDF berjenis Holstein Friesians yang secara khusus diimpor dari Australia, bahkan ratusan ekor diantaranya didatangkan dengan menggunakan pesawat terbang milik maskapai Garuda Indonesia dan Qantas Airways.

Bahwa sampai dengan bulan Oktober 2021, PT. USDF telah memiliki sekitar 3.000 (tiga ribu) ekor sapi perah yang penempatannya terkonsentrasi di beberapa bangunan kandang yang dibuat cukup modern di areal IUPK-SP. Menurut keterangan dari salah satu karyawan PT. USDF kepada penulis pada saat kunjungan lapangan tersebut bahwa kebutuhan pakan hijauan segar untuk sapi-sapi tersebut sekitar 70 ton/hari. Kebutuhan pakan ini dipenuhi dengan tanaman Jagung yang diperoleh dari para petani di sekitar lokasi IUPK-SP PT. USDF dengan harga pembelian Rp700,00/kg. Dengan demikian para petani sekitar memperoleh pendapatan dari hasil penjualan tanaman Jagung sekitar Rp49.000.000/hari atau dalam setahun sekitar Rp17.885.000.000. Jumlah angka pendapatan yang cukup signifikan - untuk ukuran petani Jagung - yang diterima para petani sekitar IUPK-SP PT. USDF.

Masih menurut keterangan salah satu karyawan PT. USDF bahwa setiap ekor sapi dapat diperah susu segarnya rata-rata sebanyak 31 liter/hari. Artinya susu segar yang dihasilkan dari sapi-sapi tersebut dalam sehari mencapai 93.000 liter sehingga dalam setahun perahan susu yang didapatkan mencapai 33.945.000 liter (34.963,35 ton). Dengan demikian PT. USDF berkontribusi sebesar 3,51% pada jumlah total produksi susu segar nasional periode tahun 2020 yang mencapai 997.350 ton.

Sebagai pemegang IUPK-SP, tentu saja PT. USDF berkewajiban untuk membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas susu sapi segar hasil Sylvopastural system tersebut. Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan, bahwa tariff pungutan PNBP dari hasil Sylvopastural system ditetapkan sebesar 10% dari harga patokan dengan satuan ukuran berat/volume dalam satuan Ton. Sedangkan harga patokan susu sapi segar sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan Untuk Perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan dan Ganti Rugi Tegakan, ditetapkan sebesar Rp3.000/Liter.

Terjadi confuse antara satuan Ton dalam Peraturan Pemerintah dengan satuan Liter dalam Peraturan Menteri LHK tersebut di atas sebagai dasar pengenaan pungutan PNBP, namun karena produksi susu sapi PT. USDF dalam satuan liter, maka potensi PNBP selama setahun (365 hari) yang dapat dipungut dari PT. USDF adalah sejumlah (10% x Rp3.000 x 33.945.000 liter) = Rp10.183.500.000 (sepuluh miliar seratus delapan puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah). Potensi PNBP susu sapi segar PT. USDF tersebut setara dengan PNBP dari penerimaan PSDH dan DR atas sortimen Kayu Bulat Besar (KBB) berdiameter 50 cm up yang berasal dari hutan alam di wilayah Sumatera dan Sulawesi sebanyak 36.467,32 M3.

Dalam pelaksanaanya memang tidak mudah, karena lokasi kawasan hutan pada umumnya terletak jauh dari akses jalan raya. Aksesibilitas menjadi sangat penting karena akan sangat mempengaruhi kegiatan pasca panen, terutama pemasaran produk HHBK susu sapi segar. Lokasi IUPK-SP harus mudah diakses dari jalan raya dan dekat dengan pelabuhan sebagai prasarana pemasaran. Namun meski tidak mudah bukan berarti kemudian berhenti diupayakan, karena menurut perhitungan di atas potensi PNBP yang akan diperoleh Negara cukup menjanjikan. Dengan hanya memanfaatkan lahan sekitar 73 hektar saja, potensi PNBP mencapai sekitar Rp10 miliar setiap tahun. Mungkinkah susu sapi segar akan menjadi salah satu substitutor hasil hutan kayu dalam perolehan PNBP? Jawabannya tentu saja harus terus diupayakan.   

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 ditetapkan bahwa setiap pemanfaatan hasil hutan (kayu dan HHBK) wajib dilakukan pengukuran oleh Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan (GANISPH) yang tersertifikasi. Lantas karena HHBK yang dihasilkan oleh PT. USDF adalah susu sapi segar, maka akankah ada GANISPH-Susu?

Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

0 komentar