Sunday, March 12, 2017

Memilih Sektor Industri

MEMILIH SEKTOR INDUSTRI
(serial tulisan untuk Pemula)

Pada saat kita melakukan investasi saham, tentu saja kita bermaksud hendak melipatgandakan aset yang kita miliki saat ini. Harapannya adalah di masa yang akan datang (saat kita tidak lagi produktif bekerja) aset kita telah berkembang dan cukup untuk bekal menikmati hidup yang mana hari-hari kita nanti diisi dengan bermain bersama cucu (incu) atau cicit (buyut).

Meski dalam hal tertentu investasi di saham bisa mendatangkan keuntungan berlipat dalam waktu yang relatif singkat, namun tidak jarang pula kita temukan bahwa untuk mencapai keuntungan yang besar memerlukan waktu yang panjang dan butuh kesabaran yang lebih.

Pergerakan harga saham sangat dinamis mengikuti perkembangan kondisi makro dan mikro perekonomian serta kinerja usaha emiten atau pengaruh global. Hal ini kadang membuat kita tidak mudah dalam memilih saham emiten yang tepat (yang akan menguntungkan) yang tersebar di 9 sektor usaha/industri di Bursa Efek Indonesia.

Gambar : google image

Data di bawah ini mudah-mudahan berguna dan membantu kita dalam menentukan sektor mana yang akan kita prioritaskan dalam memilih dan memilah saham “yang dapat diandalkan” untuk membuat aset kita berkembang dan sehat.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2007 – 2016), indeks harga saham gabungan (JKSE) mengalami kenaikan sejumlah Rp3.491,19 dari posisi Rp1.805,52 pada penutupan bursa di akhir tahun 2006 naik ke Rp5.296,71 pada penutupan bursa di akhir tahun 2016, atau meningkat sebesar 193,36%. Jika dihitung rata-rata maka kenaikan JKSE adalah sebesar 19,34%/tahun sebagaimana tabel di bawah ini.


Apabila investasi saham kita perkembangannya kurang lebih sejajar dengan tingkat kenaikan JKSE, maka aset kita semula di akhir tahun 2006 sejumlah Rp100.000.000,00 telah bertambah sejumlah Rp193.362.023,13 sehingga telah berkembang menjadi sejumlah Rp293.362.023,13 di akhir tahun 2016.

Apakah memang demikian? belum tentu. Karena JKSE adalah gabungan dari 9 sektor usaha/industri yang perkembangannya dalam 10 tahun terakhir ini berbeda-beda. Perkembangan masing-masing sektor dapat dilihat pada tabel di bawah ini :


Pada tabel di atas tampak bawa sektor konsumsi (JKCONS) tumbuh paling tinggi diantara sektor lainnya yakni sebesar 492,23% dalam 10 tahun (rata-rata 49,22%/tahun). Jika investasi saham sektor konsumsi yang kita miliki kurang lebih disejajarkan dengan tingkat kenaikan JKCONS, maka aset kita di akhir tahun 2016 telah menjadi sejumlah Rp592.233.603,42 dari semula di akhir tahun 2006 sejumlah Rp100.000.000,00.

Berbeda dengan JKCONS, pada periode ini sektor infrastruktur (JKINFA) malah tumbuh paling rendah. Return yang diberikan hanya sebesar 36,80% dalam 10 tahun (rata-rata 3,68%/tahun). Aset awal Rp100.000.000,00 berkembang hanya menjadi sejumlah Rp136.801.793,63.

Return investasi di JKINFA ini lebih rendah dibanding angka inflasi tahunan di negara kita. Selain JKINFA, sektor lain yang pertumbuhannya tidak lebih baik dari angka inflasi tahunan adalah sektor pertanian (JKAGRI) yang tumbuh rata-rata hanya 5,30%/tahun dan sektor perdagangan (JKTRADE) yang rata-rata peningkatannya hanya 4,84%/tahun, sebagaimana data pada tabel di bawah ini.


Tapi masa iya ketiga sektor usaha/industri di atas tadi hanya tumbuh rendah selama itu? Ya betul, jika kita memegang saham di ketiga sektor tadi selama 10 tahun berturut-turut, tanpa menjualnya sekali pun. Ceritanya akan lain jika kita melihat data volatilitas rata-rata harga tahunan sektor, yang mana ketiga sektor ini pernah tumbuh bahkan lebih dari 100%.

Oleh karena itu kita pun mesti ingat bahwa dalam berinvestasi, selain butuh waktu yang panjang, kita pun mesti menghitung ulang valuasi saham secara periodik (misalnya setap kuartal), terutama saat harga saham mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Meski investasi kita baru 1 atau 2 tahun di suatu saham, namun jika harganya di market telah jauh naik lebih tinggi dari harga wajarnya (overvalued), maka saat itu kita sudah harus mempertimbangkan untuk menjualnya.

Pengecualian dari ini adalah saham-saham di sektor konsumsi (karena katanya tahan banting dalam berbagai kondisi perekonomian sehingga harganya cenderung naik terus) yang akan dibahas berikutnya di bagian bawah nanti.
  
Bagaimana dengan volatilitas tahunan sektor usaha/industri? Kita asumsikan bahwa kita berinvestasi dengan modal awal (ekuitas) sejumlah Rp100.000.000,00. Kita lihat tabel JKAGRI di bawah ini :

Puncak kenaikan saham-saham sektor pertanian (JKAGRI) terjadi pada tahun 2007 (124,95%) dan turun drastis setahun berikutnya pada tahun 2008 (-66,48%) yang merupakan tahun penurunan terendah hingga saat ini (2016). Ekuitas kita pada akhir tahun 2007 yang sudah mencapai Rp224.954.655,50 dari equitas awal Rp100.000.000,00 pada akhitr tahun 2006 turun drastis tersisa hanya Rp75.404.817,60. Meski kemudian pertumbuhan harga kembali mengalami kenaikan, namun hingga akhir tahun 2016 kenaikannya belum bisa melewati angka kenaikan pada tahun 2007.

Berikutnya adalah JKMING,

Sektor pertambangan (JKMING) mengalami puncak kenaikan pada tahun 2007 (251,54%) dan turun drastis setahun berikutnya pada tahun 2008 (-73,25%) yang merupakan tahun penurunan terendah hingga saat ini. Ekuitas kita pada akhir tahun 2007 yang sudah mencapai Rp351.536.095,84 turun drastis tersisa hanya Rp94.049.570,84.

Meski kemudian pertumbuhan harga kembali mengalami kenaikan, namun pada akhir tahun 2015, terjadi kembali penurunan yang membuat ekuitas kita turun paling rendah dalam kurun waktu 10 tahun tersebut. Puncak kenaikan tertinggi ekuitas kita dalam kurun waktu ini terjadi di tahun 2007.
  
Selanjutnya JKBIND,

Sektor industri dasar (JKBIND) mengalami penurunan terdalam pada tahun 2008 (42,60%), tetapi setahun kemudian mengalami puncak kenaikan yakni tahun 2009 (102,93%). Namun demikian puncak kenaikan ekuitas kita justru terjadi pada tahun 2014 mencapai sejumlah Rp369.592.114,21.

Berikutnya kita lihat volatilitas rata-rata harga di sektor aneka industri (JKMISC) dengan data pada tabel di bawah ini.
Sektor aneka industri (JKMISC) mengalami penurunan terdalam pada tahun 2008 (54,18%), tetapi setahun kemudian mengalami puncak kenaikan yakni tahun 2009 (179,83%). Namun demikian puncak kenaikan ekuitas kita justru baru terjadi pada tahun 2016 mencapai sejumlah Rp552.406.093,83.

Bagaimana dengan sektor konsumsi (JKCONS)? Ini dia datanya;

Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 2008, semua sektor terimbas, tak terkecuali JKCONS. Terjadi penurunan pada tahun 2008 (24,96%), tetapi setahun kemudian mengalami puncak kenaikan yakni tahun 2009 (105,39%). Namun demikian puncak kenaikan ekuitas kita justru baru terjadi pada akhir tahun 2016 mencapai sejumlah Rp592.233.603,42.

Tahun-tahun selanjutnya pertumbuhan JKCONS terus meningkat (lihat increase - kolom hijau), meski terjadi penurunan (lihat decline - kolom kuning), namun penurunannya tidak signifikan (5,19%), dan ekuitas kita pun tetap jauh lebih tinggi dibanding ekuitas awal di akhir tahun 2006.

Pada tahun 2008, penurunan di bursa saham terjadi begitu drastis. Namun kalau kita perhatikan, penurunan JKCONS pada saat krisis tersebut hanya sebesar (-24,96%), jauh lebih kecil daripada penurunan di sektor-sektor lainnya. Bahkan penurunannya masih di bawah penurunan JKSE. Besarnya tingkat penurunan sektor pada saat krisis tahun 2008 dapat kita lihat pada tabel di bawah ini :
Selanjutnya adalah JKPROP,

Sektor properti dan konstruksi (JKPROP) mengalami penurunan terdalam pada tahun 2008 (58,73%), meski tahun-tahun berikutnya kembali bisa bangkit, namun puncak kenaikan baru terjadi pada masa kampanye pemilihan presiden tahun 2014 (55,76%), sekaligus menjadi puncak kenaikan ekuitas kita mencapai sejumlah Rp427.033.843,15. Pada saat kampanye pemilihan presiden tersebut, saham konstruksi memang tampak seksi, dan hal ini yang mendorong pergerakan harganya terlihat elok.

Lalu bagaimana dengan JKINFA? Ini dia datanya,

Meski issu pembangunan infrastruktur pada saat kampaye pemilihan presiden tahun 2014 merupakan salah satu tending topic, tapi pergerakan harga saham-saham di JKINFA belum begitu terasa. Kenaikannya hanya sebesar 24,71%, masih kalah dengan kenaikan pada saat tahun 2009 (48,57%). Namun demikian tahun 2014 ini adalah puncak kenaikan ekuitas kita mencapai sejumlah Rp150.369.352,79.
  
Terus JKFINA bagaimana? Datanya di bawah ini,  

Meski pada tahun 2008 itu adalah krisis akibat runtuhnya lembaga-lembaga keuangan di USA dan Eropa, tapi pengaruhnya tidak seberapa besar terhadap lembaga-lembaga keuangan di Indonesia. Data menunjukan bahwa penurunan di sektor ini hanya sebesar 32,67%, yang mana setahun kemudian yakni tahun 2009 malah rebound lebih dari 2 kali lipat (70,94%).

Namun demikian puncak kenaikan tertinggi ekuitas kita justru baru terjadi di tahun 2016 mencapai sejumlah Rp393.033.838,41. Kalau kita cermati, meskipun emiten penghuni di sektor ini adalah lembaga-lembaga keuangan, namun peningkatan ekuitas kita di JKFINA dalam kurun waktu 10 tahun ini masih kalah jika dibandingkan dengan di JKCONS atau JKMISC.

Kemudian JKTRAD, berikut ini:

Sektor perdagangan (JKTRADE) mengalami penurunan terdalam pada tahun 2008 (61,78%), tetapi setahun kemudian mengalami puncak kenaikan yakni tahun 2009 (85,91%). Namun demikian puncak kenaikan ekuitas kita justru baru terjadi pada tahun 2014 mencapai sejumlah Rp319.408.899,23.

Uraian di atas menunjukan bahwa volatilitas harga rata-rata tahunan sektor usaha/industri di Bursa Efek Indonesia dalam kurun waktu 2007-2016 itu beragam, tidak sama, satu sama lain berbeda-beda. Kembali ke konteks menghitung ulang valuasi saham secara periodik di atas, dalam mengantisipasi volatilitas harga inilah gunanya kegiatan tersebut. 
Selanjutnya kita lihat data di bawah ini;


Data di atas menunjukan bahwa rata-rata peningkatan ekuitas kita dengan asumsi ekuitas awal kita Rp100.000.000,00 jika dibandingkan dengan peningkatan ekuitas JKSE yang meningkat menjadi sejumlah Rp293.362.023,13 (jika kita tetap hold selama 10 tahun tanpa sekali pun menjualnya), maka akan kita dapati sektor yang peningkatan ekuitasnya lebih tinggi dari JKSE, namun ada juga yang lebih rendah dari JKSE.

Sektor yang peningkatan ekuitsnya lebih rendah dari JKSE adalah JKAGRI, JKMING, JKINFA, dan yang lebih tinggi daripada JKSE adalah JKBIND, JKMISC, JKCONS, JKPROP, JKFINA, JKTRAD, dengan peningkatan tertinggi diraih oleh JKCONS.

Apa artinya? Bahwa JKCONS relatif lebih tahan banting di banding sektor lainnya, dan pertumbuhan JKCONS ini relatif stabil dengan kecenderungan terus meningkat. Maka dari itu JKCONS bisa dipertimbangkan sebagai sarana untuk berinvestasi jangka panjang. (#disclamieron).

Kita lanjut dengan melihat data pada tabel di bawah ini,


Pada tabel di atas tampak bahwa saat JKSE naik (incerase) tahun 2007, 2009, 2016, seluruh sektor ikut naik juga. Saat JKSE turun (decline) tahun 2008 dan 2015, seluruh sektor ikut turun juga. Namun di tahun-tahun lainnya ada beberapa anomali, sebagai beikut:

Tahun 2010 JKSE naik, tapi JKPROP malah turun (kita sebut saja anomali negatif ya).
Tahun 2011 JKSE naik, tapi JKAGRI, JKMING, JKINFA, JKFINA malah turun (anomai negatif).
Tahun 2012 JKSE naik, tapi JKAGRI dan JKMING malah turun (anomali negatif).
Tahun 2013 JKSE turun, tapi JKAGRI, JKCONS, JKPROP, JKINFA, JKTRADE malah naik (anomali positif).
Tahun 2014 JKSE naik, tapi JKMING malah turun (anomali negatif).

Sektor yang beranomali dengan JKSE namun anomalinya selalu positif adalah JKCONS dan JKTRADE. Sektor yang selalu beranomali negatif adalah JKMING dan JKFINA. Sektor yang beranomali positif sekaligus pernah juga beranomali negatif adalah JKAGRI, JKPROP dan JKFINA. Sektor yang tidak pernah beranomali (seiring sejalan dengan JKSE) adalah JKBIND dan JKMISC. (mohon dikoreksi kalau saya salah lihat).

Selanjutnya adalah, bagaimana dengan proyeksi pertumbuhan untuk 10 tahun ke depan (2017-2026)? Bisa saja data rata-rata petumbuhan 10 tahun terakhir ini (2007-2016) dijadikan acuan untuk menghitung proyeksi pertumbuhan selanjutnya.   

Berdasarkan perhitungan proyeksi ke depan seperti di atas, mudah-mudahan didapat sektor pilihan yang menurut kita prospektif. Kemudian pertanyaannya adalah saham apa yang mesti dipilih disektor pilihan tersebut? Bisa saja kita teliti masing-masing saham di sektor tersebut, tapi yang paling mendekati biasanya adalah saham emiten yang jadi pemimpin sektor (big cap di sektornya).

Atau anda punya metoda perhitungan lain? Kalau iya, maka yakinilah hitungan anda, percayailah dia, kemudian gunakanlah ! selamat berinvestasi.

Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

0 komentar