Thursday, April 25, 2019

Rasio Laba Bersih Terhadap Ekuitas Dan Atau Aset Perusahaan

RASIO LABA BERSIH TERHADAP EKUITAS DAN ATAU ASET PERUSAHAAN

Laba bersih (Net Profit) adalah selisih lebih pendapatan usaha atas seluruh modal yang digunakan dalam periode tertentu setelah dikurangi beban pokok usaha dan pajak penghasilan. Berbeda dengan laba kotor (laba usaha) yang masih dibebani dengan beban pajak penghasilan, maka laba bersih tidak lagi dibebani dengan kewajiban lainnya. Laba bersih sepenuhnya menjadi hak para pemegang saham.
Rasio laba bersih yang diperoleh perusahaan terhadap modal bersih (ekuitas) yang dimiliki perusahaan dalam periode tertentu yang populer dengan sebutan Return On Equity (ROE).  ROE biasa digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba bersih dengan menggunakan modal usaha tertentu yang berasal dari investasi para pemegang saham. ROE biasanya dinyatakan dalam satuan persen dengan rumus perhitungan sebagai berikut :
Return On Equity = (Laba Bersih / Ekuitas) X 100%.
Pada akhir tahun 2018 ekuitas PT. Unilever Indonesia Tbk (UNVR) sebesar Rp7,58 triliyun, liabilitas (utang/kewajiban) sebesar Rp11,94 triliyun, sehingga aset (ekuitas + liabilitas) adalah sebesar (Rp7,58 triliyun + Rp11,94 triliyun) = Rp19,52 triliyun. Laba bersih yang diperoleh sebesar Rp9,11 triliyun, maka ROE UNVR pada periode tersebut adalah (Rp9,11 trilyun / Rp7,58 triliyun X 100%) = 120,18%.
Gambar : google image
ROE yang tinggi mencerminkan tingginya efektifitas dan efisiensi penggunaan ekuitas perusahaan dalam menghasilkan laba, dan sebaliknya ROE yang rendah mencerminkan rendahnya efektifitas dan efisiensi penggunaan ekuitas perusahaan dalam menghasilkan laba.
Dalam pengambilan keputusan investasi, ROE merupakan salah satu rasio keuangan yang mesti dicermati oleh para investor. Dapatkan rata-rata ROE selama beberapa tahun, misalnya 5 tahun atau bahkan 10 tahun terakhir. Dengan rentang waktu yang lebih panjang akan didapatkan informasi pertumbuhan perusahaan secara lebih mendekati kenyataannya.
Meskipun kenaikan ROE dalam rentang waktu tersebut bukan jaminan bahwa perusahaan akan terus tumbuh dalam skala yang sama, namun setidaknya dari informasi ini akan dapat diketahui rata-rata pertumbuhan laba bersih perusahaan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi.
Namun demikian ROE memiliki kelemahan karena dalam perhitungannya tidak menggunakan jumlah hutang, sehingga kurang mencerminkan kinerja usaha suatu perusahaan secara lebih komprehensif. Oleh karena itu selain ROE, para investor perlu juga mempertimbangkan rasio laba bersih terhadap aset perusahaan yang populer dengan sebutan Return On Asset (ROA).
Dalam perhitungan ROA, laba bersih yang diperoleh perusahaan dibandingkan dengan seluruh aset yang dimilikinya. Oleh karena dalam perhitungan ROA memasukan jumlah hutang perusahaan, maka dapat tergambar kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba bersih dengan menggunakan seluruh kekayaan (aset) yang dimilikinya. ROA biasanya dinyatakan dalam satuan persen dengan rumus perhitungan sebagai berikut :
Return On Asset = (Laba Bersih / Aset) X 100%.
Dalam contoh di atas, aset UNVR sebesar Rp19,52 triliyun, dan laba bersih yang diperoleh sebesar Rp9,11 triliyun, maka ROA UNVR pada periode tersebut adalah (Rp9,11 trilyun / Rp19,52 triliyun X 100%) = 46,67%.
Dari dua rasio perhitungan di atas bahwa ROE sebesar 120,18% sedangkan ROA hanya sebesar 46,67%. Dengan demikian laba bersih yang diperoleh UNVR mencapai 120,18% dari jumlah ekuitasnya, namun hanya mencapai sebesar 46,67% saja dari jumlah asetnya, artinya ada hutang yang digunakan UNVR dalam kegiatan usahanya.    
Adanya penggunaan modal yang berasal dari hutang tersebut tentu akan mempengaruhi perolehan laba bersih di tahun-tahun berikutnya karena perusahaan punya beban pembayaran untuk melunasi hutangnya, dan hal tersebut akan mengurang perolehan laba bersihnya. Oleh karena itu, para investor mesti kembali melihat jenis hutang perusahaan.
Apakah hutang tersebut hutang jangka panjang atau hutang jangka pendek (hutang lancar), apakah hutang tersebut diperoleh dari pinjaman bank atau dari penerbitan surat hutang (obligasi), atau hanya hutang usaha kepada pemasok (vendor), atau hutang akibat dari pendapatan diterima di muka (uang muka kerja).
Jika ternyata hutang jangka panjang lebih besar daripada hutang jangka pendek, kondisi tersebut kurang sehat. Hutang jangka panjang biasanya diperoleh dari pinjaman bank atau dari penerbitan surat hutang (obligasi). Perusahaan akan terus menanggung kewajiban pembayaran angsuran pokok dan bunga pinjaman sampai hutangnya lunas. Kondisi tersebut akan menekan laba bersih yang diperoleh perusahaan atau dapat mengganggu likuiditas di masa yang akan datang.
Namun jika ternyata hutang tersebut hanya hutang jangka pendek atau hanya hutang usaha kepada pemasok (vendor) atau hutang akibat dari pendapatan diterima di muka (uang muka kerja), maka dapat dikatakan bahwa hutang tersebut tergolong sehat. Hutang tersebut terjadi dalam suatu proses produksi, misalnya hutang kepada pemasok bahan baku, atau hutang akibat penerimaan uang muka dari pemesan barang, maka hutang tersebut segera lunas pada saat barang yang diproduksi oleh perusahaan telah habis terjual, atau pada saat produk yang dihasilkan telah diserahterimakan kepada pemberi kerja.
Jenis hutang tersebut di atas tidak berpotensi membuat perusahaan “sakit” di masa yang akan datang, melainkan hanya berupa hutang lancar yang memang lazim terjadi dalam suatu proses produksi.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

0 komentar