TRANSFORMASI DANA REBOISASI (DR)
Dana Jaminan Reboisasi dan
Permudaan Hutan Areal Hak Pengusahaan Hutan (DJR) ditetapkan dalam
Keputusan
Presiden Nomor 35 Tahun 1980 digunakan untuk rehabilitasi hutan
bekas tebangan di areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH). DJR dipungut sebesar US$4.0 untuk kayu bulat
(KB) dan sebesar US$0.5 untuk kayu bulat kecil (KBK/BBS).
DJR bersifat
jaminan (performance bond), oleh karena itu DJR akan dikembalikan
kepada pemegang HPH jika yang bersangkutan telah terbukti
melaksanakan reboisasi di areal bekas tebangannya.
Namun
apabila
tidak melaksanakannya, kegiatan
reboisasi diambil alih oleh Pemerintah menggunakan DJR
tersebut yang pelaksanaannya oleh pihak ketiga atau Dinas Kehutanan setempat meliputi kegiatan persemaian,
inventarisasi tegakan sisa, pembebasan tanaman yang mengganggu penanaman, dan
penyulaman serta pemeliharaannya, dengan pengawasan Direktorat Jenderal
Kehutanan Departemen Pertanian.
Penggunaan DJR yang
dibatasi hanya untuk reboisasi di areal HPH tempat DJR dipungut membuat
DJR
yang tersimpan di Bank Pemerintah yang ditunjuk menumpuk. Oleh karena
itu kemudian
Pemerintah mengambil alih DJR.
Pemerintah
melalui Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1989 merubah DJR menjadi DR (Dana
Reboisasi). DJR yang semula sebagai jaminan berubah menjadi
penerimaan Pemerintah. Penggunaannya tidak lagi untuk reboisasi di lahan bekas
tebangan HPH, melainkan untuk reboisasi kawasan hutan di luar areal HPH,
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) patungan BUMN-swasta, rehabilitasi pada lahan (kritis) yang
ditetapkan Menteri Kehutanan.
DJR
yang telah disetor sampai tanggal 31 Maret 1989 sebesar
Rp614.900.224.120,11. Sedangkan DJR yang dikembalikan kepada pemegang HPH (yang
terbukti telah melakukan reboisasi) sampai tanggal 31 Maret 1989 sebesar Rp54.359.227.665,08.
![]() |
Gambar : google image |
DR dipungut tidak hanya dari pemegang HPH, tapi juga dipungut dari pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) sebesar US$7.0 untuk KB dan US$1.0 untuk KBK.
Dalam
Keppres tersebut disebutkan bahwa dalam sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI), pembinaan hutan merupakan kewajiban HPH, artinya pendanaan reboisasi di areal HPH ditanggung oleh pemegang
HPH.
Ketentuan tersebut berlaku hingga saat ini, rehabilitasi hutan bekas tebangan
di areal HPH tidak
dibiayai DR.
Kemudian melalui Keputusan
Presiden Nomor 29 Tahun 1990, pungutan DR naik menjadi sebesar US$10.0 untuk
KB dan US$1.5 untuk KBK. DR dipungut dan disetorkan oleh Industri Pengolahan
Kayu Hulu (IPKH) yang menerima bahan baku kayu bulat sebagai Wajib Pungut dan
Wajib Setor (WPS).
Dalam perkembangannnya, melalui Keputusan
Presiden Nomor 40 Tahun 1993, pungutan DR kembali naik, dan pengenaannya didasarkan
pada kelompok jenis kayu dalam wilayah (cluster) tertentu, sebagai berikut :
a. Wilayah
Kalimantan dan Maluku sebesar US$16.0 untuk KB kelompok Meranti dan US$13.0
untuk KB kelompok Rimba Campuran.
b. Wilayah
Sumatera dan Sulawesi sebesar US$14.0 untuk KB kelompok Meranti dan US$12.0
untuk KB kelompok Rimba Campuran.
c. Wilayah
Irian Jaya dan Nusa Tenggara sebesar US$13.0 untuk KB kelompok Meranti dan US$10.5
untuk KB kelompok Rimba Campuran.
d. Berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia sebesar US$20.0 untuk setiap ton kelompok Ebony,
US$16.0 untuk Jati Alam, US$18.0 untuk kelompok Kayu Indah dan setiap ton Kayu
Cendana, serta US$2.0 untuk KBK.
Bagi IPKH
sebagai WPS yang melakukan ekspor kayu olahan, pembayaran DR dipotong langsung
melalui Bank Devisa pada saat negosiasi wesel atau pada saat pemberitahuan
ekspor barang (PEB) bagi yang melaksanakan ekspor tanpa Letter of Credit (L/C).
Transformasi DR terus berlanjut dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 turunan dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997. Filosofi
DR mengalami pergeseran dari semula hanya sebagai pungutan/iuran wajib menjadi
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Implikasinya adalah DR masuk APBN sebagai salah satu pos
penerimaan Negara dan dikelola Menteri Keuangan.
Dalam konsideran Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun
1999 disebutkan
bahwa peruntukan DR bukan lagi “khusus” untuk rehabilitasi hutan dan lahan (kembali
ke hutan), melainkan juga untuk penyelenggaraan
pemerintahan negara dan pembangunan nasional.
Selanjutnya DR tidak lagi menjadi sumber pendanaan
pembangunan
HTI pasca terbitnya surat Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 922/Menhutbun-VI/1999 mengenai HTI-Patungan yang ditegaskan
kembali melalui surat Sekretaris
Jenderal Departemen Kehutanan Nomor 549/II-Keu/2000 yang berisi tentang penghentian
sementara penyaluran DR untuk pembangunan HTI.
Bunga jasa giro dari simpanan pokok DR di Bank
Pemerintah yang saat itu telah mencapai sekitar Rp12 triliyun, disalurkan tidak
hanya untuk kegiatan langsung rehabilitasi hutan dan lahan, tetapi digunakan
juga untuk
kegiatan penunjang yang dituangkan dalam Daftar Isian Kegiatan/Suplemen
(DIK/S).
Seiring
waktu, filosofi DR mesti kembali ke hutan mengemuka kembali dengan terbitnya Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999. Pengaturan
DR
dalam Undang-undang tersebut meliputi dua aspek yaitu digunakan hanya
untuk kegiatan reboisasi dan
rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya, dan untuk mewujudkan
pengelolaan hutan yang lestari, yang didukung lembaga penunjang antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan
hutan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan
latihan serta lembaga penyuluhan.
Dalam
Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 turunan dari Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999, DR yang tersimpan dalam Rekening Pembangunan Hutan (RPH) hanya
dapat
disalurkan melalui skema pinjaman (dan
merupakan dana bergulir) kepada badan usaha berbadan hukum, kelompok tani hutan
dan koperasi. Selanjutnya pengelolaan DR pada RPH tersebut
dilaksanakan oleh Badan Layanan Umum (BLU).
Rehabilitasi
hutan dan lahan dilaksankan melalui kegiatan reboisasi pada
hutan
produksi, hutan lindung dan/atau hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona
inti taman nasional, penghijauan berupa pembangunan hutan hak
atau hutan milik, penghijauan berupa pembangunan usaha kehutanan
yang terkait dengan kelestarian hutan, penghijauan berupa
pembangunan usaha tani konservasi DAS, pemeliharaan, pengayaan
tanaman pada hutan lindung dan hutan produksi, atau penerapan
teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis
dan tidak produktif.
Namun
demikian, khusus untuk kegiatan rehabilitasi yang tidak layak dibiayai
dengan skema pinjaman, dapat menggunakan DR melalui
dokumen anggaran (DIPA K/L). Penggunaan DR melalui DIPA K/L yang bersumber
dari DR bagian Pemerintah Pusat digunakan untuk kegiatan pendukungnya.
Kegiatan
pendukung rehabilitasi hutan dilakukan melalui kegiatan perlindungan
hutan, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan; penataan batas
kawasan; pengawasan dan pengendalian, pengenaan,
penerimaan dan penggunaan Dana Reboisasi; pengembangan perbenihan; penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan serta pemberdayaan
masyarakat setempat dalam kegiatan rehabilitasi hutan.
Pemanfaatan DR pasca terbitnya
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999
dilakukan melalui DAK-DR. Di
dalamnya diatur penyaluran dan pembagian besarnya DR bagi daerah (kabupaten/kota)
penghasil
sebesar 40% dan Pemerintah Pusat sebesar 60%. Khusus
bagian Pemerintah Pusat dikelola untuk menunjang kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan di luar daerah penghasil.
Dalam
pelaksanaannya, beberapa kendala yang dihadapi diantaranya yaitu bagi daerah yang menerima
DAK-DR dan Dana Bagi Hasil (DBH) DR terbesar mengalami
kesulitan dalam mencari lahan yang kritis untuk kegiatan rehabilitasi karena masih
memiliki
hutan produktif yang luas. Sementara
rehabilitasi di areal hutan yang dibebani HPH (IUPHHK-HA) tidak bisa
didanai dari DR, karena hal tersebut merupakan kewajiban
pemegang HPH sesuai dengan sistem silvikultur TPTI.
Pada
sisi lain, untuk daerah yang penghasilan DR-nya kecil namun
memiliki
areal hutan dan lahan kritis yang luas, timbul kesulitan dalam
hal kecukupan ketersediaan jumlah pendanaan kegiatan rehabilitasinya.
Pasca terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 dan terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
128/Kpts-II/2003, tranformasi DR berlanjut. Tata cara pemungutan dan penyetoran
DR tidak lagi oleh IPKH sebagai WPS, tata cara pengenaan dan pemungutan serta pembayaran
DR dikembalikan ke hulu yaitu oleh pemegang HPH, HPHH dan IPK sebagai Wajib
Bayar (WB).
Dalam
perkembangan terakhir pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014,
pungutan DR didasarkan pada sortimen kayu bulat yang terbagi ke dalam sortimen
KB, KBS dan KBK. Untuk sortimen KB mengalami kenaikan sebesar US$0,5 dari tarif
sebelumnya, dan sortimen KBK naik US$2.0 dari tarif sebelumnya, serta beberapa
jenis (khusus) kayu tertentu mengalami kenaikan sebesar US$2.0 dari tarif DR
sebelumnya sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999.
Transformasi DR akan
terus berlanjut pasca terbitnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2018 sebagai
pengganti Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997. Beberapa pihak mengusulkan agar
pengenaan DR yang saat ini menggunakan tarif US$ dirubah menggunakan tarif Rupiah.
Untuk mengakomodir hal tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 saat
ini sedang dikaji kembali untuk proses revisi.
Demikian,
mudah-mudahan bermanfaat.
0 komentar
EmoticonEmoticon