Friday, December 14, 2018

Transformasi Dana Reboisasi (DR)


TRANSFORMASI DANA REBOISASI (DR)

Dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan Hutan Areal Hak Pengusahaan Hutan (DJR) ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 1980 digunakan untuk rehabilitasi hutan bekas tebangan di areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH).  DJR dipungut sebesar US$4.0 untuk kayu bulat (KB) dan sebesar US$0.5 untuk kayu bulat kecil (KBK/BBS).
DJR bersifat jaminan (performance bond), oleh karena itu DJR akan dikembalikan kepada pemegang HPH jika yang bersangkutan telah terbukti melaksanakan reboisasi di areal bekas tebangannya.
Namun apabila tidak melaksanakannya, kegiatan reboisasi diambil alih oleh Pemerintah menggunakan DJR tersebut yang pelaksanaannya oleh pihak ketiga atau Dinas Kehutanan setempat meliputi kegiatan persemaian, inventarisasi tegakan sisa, pembebasan tanaman yang mengganggu penanaman, dan penyulaman serta pemeliharaannya, dengan pengawasan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian.
Penggunaan DJR yang dibatasi hanya untuk reboisasi di areal HPH tempat DJR dipungut membuat DJR yang tersimpan di Bank Pemerintah yang ditunjuk menumpuk. Oleh karena itu kemudian Pemerintah mengambil alih DJR.
Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1989 merubah DJR menjadi DR (Dana Reboisasi). DJR yang semula sebagai jaminan berubah menjadi penerimaan Pemerintah. Penggunaannya tidak lagi untuk reboisasi di lahan bekas tebangan HPH, melainkan untuk reboisasi kawasan hutan di luar areal HPH, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) patungan BUMN-swasta, rehabilitasi pada lahan (kritis) yang ditetapkan Menteri Kehutanan.
DJR yang telah disetor sampai tanggal 31 Maret 1989 sebesar Rp614.900.224.120,11. Sedangkan DJR yang dikembalikan kepada pemegang HPH (yang terbukti telah melakukan reboisasi) sampai tanggal 31 Maret 1989 sebesar Rp54.359.227.665,08.

Gambar : google image







DR dipungut tidak hanya dari pemegang HPH, tapi juga dipungut dari pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) sebesar US$7.0 untuk KB dan US$1.0 untuk KBK.
Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa dalam sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), pembinaan hutan merupakan kewajiban HPH, artinya pendanaan reboisasi di areal HPH ditanggung oleh pemegang HPH. Ketentuan tersebut berlaku hingga saat ini, rehabilitasi hutan bekas tebangan di areal HPH tidak dibiayai DR.
Kemudian melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1990, pungutan DR naik menjadi sebesar US$10.0 untuk KB dan US$1.5 untuk KBK. DR dipungut dan disetorkan oleh Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) yang menerima bahan baku kayu bulat sebagai Wajib Pungut dan Wajib Setor (WPS).
Dalam perkembangannnya, melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1993, pungutan DR kembali naik, dan pengenaannya didasarkan pada kelompok jenis kayu dalam wilayah (cluster) tertentu, sebagai berikut :
a.  Wilayah Kalimantan dan Maluku sebesar US$16.0 untuk KB kelompok Meranti dan US$13.0 untuk KB kelompok Rimba Campuran.
b.  Wilayah Sumatera dan Sulawesi sebesar US$14.0 untuk KB kelompok Meranti dan US$12.0 untuk KB kelompok Rimba Campuran.
c.   Wilayah Irian Jaya dan Nusa Tenggara sebesar US$13.0 untuk KB kelompok Meranti dan US$10.5 untuk KB kelompok Rimba Campuran.
d.  Berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia sebesar US$20.0 untuk setiap ton kelompok Ebony, US$16.0 untuk Jati Alam, US$18.0 untuk kelompok Kayu Indah dan setiap ton Kayu Cendana, serta US$2.0 untuk KBK.
Bagi IPKH sebagai WPS yang melakukan ekspor kayu olahan, pembayaran DR dipotong langsung melalui Bank Devisa pada saat negosiasi wesel atau pada saat pemberitahuan ekspor barang (PEB) bagi yang melaksanakan ekspor tanpa Letter of Credit (L/C).
Transformasi DR terus berlanjut dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 turunan dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997. Filosofi DR mengalami pergeseran dari semula hanya sebagai pungutan/iuran wajib menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Implikasinya adalah DR masuk APBN sebagai salah satu pos penerimaan Negara dan dikelola Menteri Keuangan.
Dalam konsideran Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 disebutkan bahwa peruntukan DR bukan lagi “khusus” untuk rehabilitasi hutan dan lahan (kembali ke hutan), melainkan juga untuk penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan nasional.
Selanjutnya DR tidak lagi menjadi sumber pendanaan pembangunan HTI pasca terbitnya surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 922/Menhutbun-VI/1999 mengenai HTI-Patungan yang ditegaskan kembali melalui surat Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Nomor 549/II-Keu/2000 yang berisi tentang penghentian sementara penyaluran DR untuk pembangunan HTI.
Bunga jasa giro dari simpanan pokok DR di Bank Pemerintah yang saat itu telah mencapai sekitar Rp12 triliyun, disalurkan tidak hanya untuk kegiatan langsung rehabilitasi hutan dan lahan, tetapi digunakan juga untuk kegiatan penunjang yang dituangkan dalam Daftar Isian Kegiatan/Suplemen (DIK/S).
Seiring waktu, filosofi DR mesti kembali ke hutan mengemuka kembali dengan terbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Pengaturan DR dalam Undang-undang tersebut meliputi dua aspek yaitu digunakan hanya untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya, dan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, yang didukung lembaga penunjang antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan hutan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan latihan serta lembaga penyuluhan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 turunan dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, DR yang tersimpan dalam Rekening Pembangunan Hutan (RPH) hanya dapat disalurkan melalui skema pinjaman (dan merupakan dana bergulir) kepada badan usaha berbadan hukum, kelompok tani hutan dan koperasi. Selanjutnya pengelolaan DR pada RPH tersebut dilaksanakan oleh Badan Layanan Umum (BLU).
Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksankan melalui kegiatan reboisasi pada hutan produksi, hutan lindung dan/atau hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional, penghijauan berupa pembangunan hutan hak atau hutan milik, penghijauan berupa pembangunan usaha kehutanan yang terkait dengan kelestarian hutan, penghijauan berupa pembangunan usaha tani konservasi DAS, pemeliharaan, pengayaan tanaman pada hutan lindung dan hutan produksi, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.
Namun demikian, khusus untuk kegiatan rehabilitasi yang tidak layak dibiayai dengan skema pinjaman, dapat menggunakan DR melalui dokumen anggaran (DIPA K/L). Penggunaan DR melalui DIPA K/L yang bersumber dari DR bagian Pemerintah Pusat digunakan untuk kegiatan pendukungnya.
Kegiatan pendukung rehabilitasi hutan dilakukan melalui kegiatan perlindungan hutan, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan; penataan batas kawasan; pengawasan dan pengendalian, pengenaan, penerimaan dan penggunaan Dana Reboisasi; pengembangan perbenihan; penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan serta pemberdayaan masyarakat setempat dalam kegiatan rehabilitasi hutan.
Pemanfaatan DR pasca terbitnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 dilakukan melalui DAK-DR. Di dalamnya diatur penyaluran dan pembagian besarnya DR bagi daerah (kabupaten/kota) penghasil sebesar 40% dan Pemerintah Pusat sebesar 60%. Khusus bagian Pemerintah Pusat dikelola untuk menunjang kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di luar daerah penghasil.
Dalam pelaksanaannya, beberapa kendala yang dihadapi diantaranya yaitu bagi daerah yang menerima DAK-DR dan Dana Bagi Hasil (DBH) DR terbesar mengalami kesulitan dalam mencari lahan yang kritis untuk kegiatan rehabilitasi karena masih memiliki hutan produktif yang luas. Sementara rehabilitasi di areal hutan yang dibebani HPH (IUPHHK-HA) tidak bisa didanai dari DR, karena hal tersebut merupakan kewajiban pemegang HPH sesuai dengan sistem silvikultur TPTI.
Pada sisi lain, untuk daerah yang penghasilan DR-nya kecil namun memiliki areal hutan dan lahan kritis yang luas, timbul kesulitan dalam hal kecukupan ketersediaan jumlah pendanaan kegiatan rehabilitasinya.
Pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 dan terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 128/Kpts-II/2003, tranformasi DR berlanjut. Tata cara pemungutan dan penyetoran DR tidak lagi oleh IPKH sebagai WPS, tata cara pengenaan dan pemungutan serta pembayaran DR dikembalikan ke hulu yaitu oleh pemegang HPH, HPHH dan IPK sebagai Wajib Bayar (WB).
Dalam perkembangan terakhir pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014, pungutan DR didasarkan pada sortimen kayu bulat yang terbagi ke dalam sortimen KB, KBS dan KBK. Untuk sortimen KB mengalami kenaikan sebesar US$0,5 dari tarif sebelumnya, dan sortimen KBK naik US$2.0 dari tarif sebelumnya, serta beberapa jenis (khusus) kayu tertentu mengalami kenaikan sebesar US$2.0 dari tarif DR sebelumnya sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999. 
Transformasi DR akan terus berlanjut pasca terbitnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2018 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997. Beberapa pihak mengusulkan agar pengenaan DR yang saat ini menggunakan tarif US$ dirubah menggunakan tarif Rupiah. Untuk mengakomodir hal tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 saat ini sedang dikaji kembali untuk proses revisi.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

0 komentar