Saturday, February 2, 2019

Self Assessment

SELF ASSESSMENT

Pemerintah - dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan - telah mengimplementasikan kebijakan sistem self assessment dalam pelayanan publik pada kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu, penatausahaan hasil hutan kayu dan pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas pemanfaatan hasil hutan kayu yang dilaksanakan oleh pemegang izin.
Self assessment dimaksud merupakan suatu sistem pemenuhan kewajiban oleh pemegang izin dalam kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu, penatausahaan hasil hutan kayu dan pembayaran PNBP, yang direncanakan, dilaksanakan, dan dilaporkan sendiri oleh pemegang izin melalui perangkat berbasis web dalam bentuk Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) dan Sistem Informasi Penerimaaan Negara Bukan Pajak (SIPNBP).
Pola atau sistem self assessment diterapkan sejak tanggal 1 Januari 2016 yang dalam pelaksanaannya berlaku mengikat terhadap pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) baik di hutan alam maupun di hutan tanaman, Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan pemegang hak atas tanah yang masih terdapat pohon tumbuh alami. Khusus dalam kegiatan penatausahaan hasil hutan kayu, self assessment diberlakukan juga bagi pemegang izin usaha industri primer hasil hutan kayu (IUI-PHHK).
Gambar : andirerei.com
Mekanisme self assessment dalam kegiatan penatausahaan hasil hutan kayu dan pembayaran PNBP diatur dalam regulasi sebagai berikut :
a.  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.42/Menlhk-Setjen/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.58/MenLHK/Setjen/Kum.1/7/2016.
b.  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.43/Menlhk-Setjen/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Alam sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.60/MenLHK/Setjen/Kum.1/7/2016.
c.   Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.71/MenLHK/Setjen/HPL.3/8/2016 tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Penyetoran Provinsi Sumber Daya Hutan, Dana Reboisasi, Ganti Rugi Tegakan, Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan dan Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan.
Berbeda dengan ketika sistem pelayanan Pemerintaah masih menganut pola official assessment, yang mana pada kegiatan perencanaan, produksi, peredaran, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu serta pembayaran PNBP oleh pemegang izin dilaksanakan atas dasar persetujuan atau pengesahan atau perhitungan dari pejabat kehutanan yang berwenang dan atau petugas kehutanan yang ditunjuk, maka dalam pola self assessment ini seluruh kegiatan tersebut dilaksanakan sendiri oleh pemegang izin. Contohnya dalam penerbitan dokumen angkutan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) atau perhitungan kewajiban pembayaran PNBP yang harus disetor oleh pemegang izin ke kas negara.
Kebijakan yang diambil Pemeritah tersebut tergolong berani mengingat bahwa obyek yang diusahakan oleh pemegang izin adalah asset negara berupa hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang begitu luas (baca rawan penyimpangan) yang memerlukan pengawasan ketat. Namun guna terselenggaranya pelayanan prima dan efisiensi dalam kegiatan usaha pemanfaatan hutan, kebijakan tersebut dipandang sebagai sebuah keniscayaan.
Bahwa kebijakan tersebut berimplikasi terhadap intensitas kegiatan pemantauan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah (petugas kehutanan) dalam tiga aspek kegiatan di atas menjadi berkurang. Pemantauan dan pengawasan yang dilakukan Pemerintah dalam bisnis proses kegiatan pemanfaaatan hasil hutan kayu nyaris “hanya” melalui perangkat SIPUHH dan SIPNBP.
Di satu sisi hal tersebut berdampak positif bagi pemegang izin dalam efisiensi kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, namun di sisi lain terdapat potensi timbulnya “penyimpangan” yang dilakukan oleh pemegang izin (karena merasa tidak diawasi langsung) yang dapat menimbulkan kerugian negara.
Kepercayaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada pemegang izin begitu besar, sehingga konsekuensi logis dari hal tersebut perlu adanya uji kepatuhan atau uji ketaatan terhadap pemegang izin dalam melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pemanfaatan hutan. Pemerintah perlu melakukan pengukuran sampai sejauh mana kepatuhan dan ketaatan pemegang izin dalam memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Perangkat yang dimiliki Pemerintah untuk melaukan uji kepatuhan atau uji ketaatan terhadap pemegang izin salah satunya diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.46/Menlhk-Setjen/2015 tentang Pedoman Post Audit Terhadap Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Izin Pemanfaatan Kayu. Dalam regulasi ini diatur tata cara pemeriksaan dalam rangka uji kepatuhan atau uji ketaatan dan sekaligus pengenaan sanksi administratif (denda pelanggaran eksploitasi hutan) bagi pemegang izin yang terbukti tidak patuh atau tidak taat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pemanfaatan hutan, yang diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pemegang izin yang melakukan pelanggaran.
Sejatinya kebijakan self assessment bertujuan agar dunia usaha (pemanfaatan hasil hutan kayu) menjadi lebih bergairah dan dapat meningkatkan PNBP dengan tetap mengedepankan kelestarian hutan (produksi). Namun yang terjadi di lapangan ada saja pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan celah regulasi untuk mengambil keuntungan dengan cara-cara yang tidak bertanggungjawab sehingga menimbulkan kerugian negara.
Untuk meminimalkan terjadinya kondisi yang tidak diinginkan tersebut di atas, Pemerintah telah berupaya untuk menumbuhkan kesadaran para pihak terkait/stake holder (terutama pelaku usaha dibidang pemanfaatan hasil hutan kayu) mengenai arti pentingnya hutan dan kawasan hutan bagi kehidupan dan keberlangsungan usaha. Para pihak terkait perlu diyakinkan bahwa keberlangsungan usaha (mereka) akan dapat terwujud hanya apabila ada ketersediaan sumber daya (hasil hutan kayu) yang berkelanjutan (lestari).
Upaya preventif lainnya yang telah diambil Pemerintah beberapa diantaranya dengan cara memberikan bimbingan teknis secara berkala, membuat pemegang izin merasa memiliki bahwa hutan dan ekosistemnya dalam areal izin adalah “aset”, terus mengarahkan pemegang izin agar menciptakan kondisi di mana kehadiran mereka benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat di sekitarnya sehingga tumbuh simbiosis mutualisma (bukan konflik), dan lain-lain. Upaya preventif ini diambil untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan yang “mengharuskan” Pemerintah mengambil upaya represif (penegakan hukum).       
Horizon investasi dalam kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu berdurasi panjang (puluhan tahun), dan selama itu pula kegiatan produksi akan berlangsung setiap tahun. Bahwa dengan pemanfaatan yang terukur dan terkendali selama masa investasi, “mestinya” terwujud kondisi dimana pemegang izin mendapatkan keuntungan sesuai tujuan investasi/bisnisnya dan negara memperoleh manfaat ekonomi yang dapat didistribusikan kepada seluruh warganya dalam berbagai bentuk sarana dan prasarana publik.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

0 komentar