DARI HUTAN MEMPERKUAT RUPIAH
Dalam
kurun waktu selama enam tahun terakhir yaitu periode tanggal 25 Januari 2013
s.d. 25 Januari 2019, nilai tukar (kurs) mata uang Rupiah (Rp) terhadap mata
uang Dollar Amerika Serikat (US$) melemah dari Rp9.643 menjadi Rp14.085. Selama
enam tahun terakhir Rp terdepresiasi sebesar 46,06% terhadap US$.
Pelemahan Rp pada
dasarnya dipengaruhi oleh faktor internal (dalam negeri) dan faktor eksternal
(global). Faktor internal saat ini salah satunya adalah defisit neraca
perdagangan negara kita, sedangkan salah satu faktor eksternal yaitu kebijakan bank
sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) secara bertahap menaikan suku
bunga acuan atau Federal Fund Rate (FFR).
Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) bahwa periode bulan November 2018, neraca perdagangan Indonesia
mengalami defisit sebesar US$2,05 milyar. Hal tersebut dipicu dengan masih
tingginya angka impor.
Mengutip data CNBC laporan
tanggal 17 Desember 2018 yang bersumber dari data BPS, komoditas yang
paling sering diimpor Indonesia periode Januari – November 2018 atau komoditas
dengan angka impor tinggi meliputi :
a. Benda-benda produk dari besi dan
baja sebesar US$3,56 milyar atau tumbuh 54,14% dibandingkan periode yang sama
tahun lalu sebesar US$2,31 milyar.
b. Serealia atau beras sebesar US$3,50
milyar atau tumbuh 30,17% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$2,69
milyar.
c. Besi dan baja sebesar US$9,12 milyar
atau tumbuh 27,81% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$7,13
milyar.
d. Mesin-mesin peralatan mekanik sebesar
US$24,7 milyar tumbuh 25,89% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar US$
19,6 milyar.
e. Mesin peralatan listrik sebesar US$19,6
milyar atau tumbuh 22,02% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$16,1
milyar.
Pangsa
pasar impor non migas Indonesia masih dipegang oleh China sebesar US$40,85
milyar atau 28,07% dari total impor. Kemudian disusul oleh Jepang US$16,61
milyar, Thailand US$10,09 milyar, Singapura US$8,89 milyar, Amerika Serikat
US$8,39 milyar, ASEAN US$29,22 milyar, dan Uni Eropa US$12,99 milyar.
Defisit neraca
perdagangan terjadi karena jumlah nilai ekspor barang dari Indonesia lebih
kecil daripada nilai barang yang diimpor, sehingga US$ yang dikeluarkan (untuk
pembiayaan impor) lebih besar daripada US$ yang diterima (devisa hasil ekspor).
Untuk pembiayaan impor dibutuhkan US$ lebih banyak, akibatnya jumlah cadangan
devisa pun terkoreksi dan menjadi salah satu penyebab melemahnya nilai tukar Rp
terhadap US$.
Faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap Rp saat ini datang dari Amerika Serikat (USA). Pasca didera krisis
ekonomi tahun 2008, pertumbuhan ekonomi USA melambat, mengakibatkan terjadinya migrasi
modal (capital outflow) ke negara-negara emerging market (negara berkembang)
termasuk Indonesia dalam bentuk portofolio investasi berupa pembelian
surat-surat hutang (obligasi) baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun oleh
swasta di negara-negara berkembang maupun surat-surat berharga lainnya berupa saham,
reksadana, dan lain-lain.
Lesunya pertumbuhan
ekonomi USA tersebut membuat Bank Sentral USA (The Fed) melonggarkan kebijakan
moneternya dengan menurunkan suku bunga acuan/Federal Funds Rate (FFR)
mendekati 0%, dengan tujuan untuk mendorong industri sektor rill di USA dapat berputar
kembali lebih cepat sehingga ekonomi dalam negeri USA kembali tumbuh ideal.
Masalahnya adalah
tidak seperti investasi di sektor riil yang penempatan modalnya agak sulit
untuk dipindah-pindah; investasi dalam bentuk surat utang atau pembelian surat
berharga lainnya (hot money) ini mudah sekali dipindahkan kembali ke negara lainnya
jika ada sentimen dalam negeri di suatu negara maupun sentimen global yang
mempengaruhinya.
Seiring berjalannya waktu,
terutama sejak akhir tahun 2015, ekonomi dalam negeri USA kembali membaik, maka
untuk menjaga stabilitas petumbuhan tersebut, The Fed secara bertahap kembali menaikan
FFR. Kenaikan terakhir pada bulan Desember 2018 sebesar 25 basis poin (bsp)
atau 0,25%, sehingga FFR kini ada di kisaran sebesar 2,25% - 2,50%.
FFR yang terus naik
ini dipandang oleh para pemilik modal global sebagai signal pulihnya kondisi ekonomi
USA, dan karena USA ini masih merupakan salah satu tempat tujuan investasi
terbaik di dunia, maka tidak heran jika capital (modal) berbentuk US$ yang sebelumnya
dipindahkan ke negara-negara emerging market, kini kembali migrasi masuk ke USA
(capital inflow).
Para pemodal kembali
membeli US$ dengan melepas Rp untuk masuk USA sehingga Rp melimpah di pasar
sedangkan US$ menjadi berkurang, dan efeknya nilai tukar Rp terhadap US$ pun melemah.
Sentimen ini begitu kuat mempengaruhi nilai tukar Rp terhadap US$, karena meski
cadangan devisa Indonesia masih berada pada rentang waktu yang aman, namun
tetap saja pemodal luar ini masih lebih memilih USA dibanding negara lainnya (dengan
berbagai pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, dan politik tentunya).
Bagi industri pengolahan
di Indonesia yang sebagian besar bahan bakunya masih mengandalkan impor, tentu
saja menguatnya US$ terhadap Rp membuat kinerja keuangan mengalami tekanan
karena biaya produksi meningkat sebab Rp yang dikeluarkan untuk biaya produksi
akan bertambah.
Sedangkan di sisi lain
pemasukan yang diterima oleh produsen nilainya masih tetap sama karena mereka
jualan produknya dalam bentuk Rp. Konsekuensi moderat yang diambil adalah
melakukan efisiensi biaya produksi, namun jika kondisi Rp makin melemah dan
mengancam kelangsungan kegiatan usaha, maka pilihan sulit pun mesti diambil,
yaitu menaikan harga jual.
Apabila daya beli
konsumen masih kuat, harga jual naik tidak akan jadi masalah, konsumen tetap
akan membelinya. Namun jika penguatan US$ itu belum dibarengi dengan
peningkatan pendapatan konsumen, maka akibatnya daya beli konsumen pun ikut menurun.
Dengan masih besarnya
porsi impor, pelemahan Rp jelas memberatkan, karena akan mengakibatkan harga
barang di dalam negeri naik, pembayaran angsuran pokok dan bunga hutang
pemerintah serta hutang swasta yang berdenominasi US$ memerlukan Rp lebih
banyak.
Dalam jangka pendek,
solusi yang dapat diambil adalah meningkatkan volume dan nilai ekspor,
sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya. Dengan volume dan nilai ekspor meningkat
diharapkan US$ yang masuk sebagai devisa pun bertambah, cadangan devisa makin
aman dan pada akhirnya akan memperkuat nilai tukar Rp.
Dan untuk solusi
jangka panjang, tentu saja harus bisa dibangun industri dalam negeri yang mampu
mempoduksi bahan baku dalam skala besar, yang dapat memenuhi kebutuhan bahan
baku industri pengolahan, sehingga industri pengolahan tidak mengalami ketergantungan
dengan bahan baku impor.
![]() |
Gambar : andirerei.com |
Bagaimana dengan
kinerja ekspor industri pengolahan hasil hutan kayu saat ini? Data sampai
dengan kuartal III-2018 nilai ekspor produk olahan berbahan baku kayu mencapai
US$9,28 milyar dari target sebesar US$12 milyar. Tahun lalu nilai ekspor kayu
olahan mencapai US$10,9 milyar, dan tahun ini diharapkan meningkat sebesar 10%
menjadi US$12 milyar.
Devisa yang dihasilkan
dari ekspor produk olahan hasil hutan kayu tentu berkontribusi untuk
memperbaiki neraca dagang Indonesia, yang pada akhirnya turut serta memperkuat
nilai tukar Rp terhadap US$. Meski nilai tukar Rp terhadap US$ kini telah
menguat dari Rp15.255/US$ pada bulan Oktober 2018 menjadi Rp14.085/US$, volume
ekspor produk olahan berbahan baku hasil hutan kayu harus tetap ditingkatkan.
Sebagian dari tugas
kita adalah mewujudkan kondisi terjaminnya ketersediaan bahan baku industri
kayu olahan. Salah satunya dengan cara kampanye menanam pohon di lahan-lahan
masyarakat. Kayu yang berasal dari lahan tanaman masyarakat ini (sengon, jabon,
dan lain-lain) sudah terbukti membuat industri kayu olahan kita menjadi salah
satu eksportir terbesar barecore (panel wood) di dunia.
Demikian,
mudah-mudahan bermanfaat.
0 komentar
EmoticonEmoticon