Sunday, January 27, 2019

Dari Hutan Memperkuat Rupiah

DARI HUTAN MEMPERKUAT RUPIAH

Dalam kurun waktu selama enam tahun terakhir yaitu periode tanggal 25 Januari 2013 s.d. 25 Januari 2019, nilai tukar (kurs) mata uang Rupiah (Rp) terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat (US$) melemah dari Rp9.643 menjadi Rp14.085. Selama enam tahun terakhir Rp terdepresiasi sebesar 46,06% terhadap US$.
Pelemahan Rp pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor internal (dalam negeri) dan faktor eksternal (global). Faktor internal saat ini salah satunya adalah defisit neraca perdagangan negara kita, sedangkan salah satu faktor eksternal yaitu kebijakan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) secara bertahap menaikan suku bunga acuan atau Federal Fund Rate (FFR).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa periode bulan November 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$2,05 milyar. Hal tersebut dipicu dengan masih tingginya angka impor.
Mengutip data CNBC laporan tanggal 17 Desember 2018 yang bersumber dari data BPS, komoditas yang paling sering diimpor Indonesia periode Januari – November 2018 atau komoditas dengan angka impor tinggi meliputi :
a.  Benda-benda produk dari besi dan baja sebesar US$3,56 milyar atau tumbuh 54,14% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$2,31 milyar.
b.  Serealia atau beras sebesar US$3,50 milyar atau tumbuh 30,17% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$2,69 milyar.
c.   Besi dan baja sebesar US$9,12 milyar atau tumbuh 27,81% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$7,13 milyar.
d.  Mesin-mesin peralatan mekanik sebesar US$24,7 milyar tumbuh 25,89% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar US$ 19,6 milyar.
e.  Mesin peralatan listrik sebesar US$19,6 milyar atau tumbuh 22,02% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$16,1 milyar.
Pangsa pasar impor non migas Indonesia masih dipegang oleh China sebesar US$40,85 milyar atau 28,07% dari total impor. Kemudian disusul oleh Jepang US$16,61 milyar, Thailand US$10,09 milyar, Singapura US$8,89 milyar, Amerika Serikat US$8,39 milyar, ASEAN US$29,22 milyar, dan Uni Eropa US$12,99 milyar.
Defisit neraca perdagangan terjadi karena jumlah nilai ekspor barang dari Indonesia lebih kecil daripada nilai barang yang diimpor, sehingga US$ yang dikeluarkan (untuk pembiayaan impor) lebih besar daripada US$ yang diterima (devisa hasil ekspor). Untuk pembiayaan impor dibutuhkan US$ lebih banyak, akibatnya jumlah cadangan devisa pun terkoreksi dan menjadi salah satu penyebab melemahnya nilai tukar Rp terhadap US$.
Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap Rp saat ini datang dari Amerika Serikat (USA). Pasca didera krisis ekonomi tahun 2008, pertumbuhan ekonomi USA melambat, mengakibatkan terjadinya migrasi modal (capital outflow) ke negara-negara emerging market (negara berkembang) termasuk Indonesia dalam bentuk portofolio investasi berupa pembelian surat-surat hutang (obligasi) baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun oleh swasta di negara-negara berkembang maupun surat-surat berharga lainnya berupa saham, reksadana, dan lain-lain.
Lesunya pertumbuhan ekonomi USA tersebut membuat Bank Sentral USA (The Fed) melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan suku bunga acuan/Federal Funds Rate (FFR) mendekati 0%, dengan tujuan untuk mendorong industri sektor rill di USA dapat berputar kembali lebih cepat sehingga ekonomi dalam negeri USA kembali tumbuh ideal.
Masalahnya adalah tidak seperti investasi di sektor riil yang penempatan modalnya agak sulit untuk dipindah-pindah; investasi dalam bentuk surat utang atau pembelian surat berharga lainnya (hot money) ini mudah sekali dipindahkan kembali ke negara lainnya jika ada sentimen dalam negeri di suatu negara maupun sentimen global yang mempengaruhinya.
Seiring berjalannya waktu, terutama sejak akhir tahun 2015, ekonomi dalam negeri USA kembali membaik, maka untuk menjaga stabilitas petumbuhan tersebut, The Fed secara bertahap kembali menaikan FFR. Kenaikan terakhir pada bulan Desember 2018 sebesar 25 basis poin (bsp) atau 0,25%, sehingga FFR kini ada di kisaran sebesar 2,25% - 2,50%.
FFR yang terus naik ini dipandang oleh para pemilik modal global sebagai signal pulihnya kondisi ekonomi USA, dan karena USA ini masih merupakan salah satu tempat tujuan investasi terbaik di dunia, maka tidak heran jika capital (modal) berbentuk US$ yang sebelumnya dipindahkan ke negara-negara emerging market, kini kembali migrasi masuk ke USA (capital inflow).
Para pemodal kembali membeli US$ dengan melepas Rp untuk masuk USA sehingga Rp melimpah di pasar sedangkan US$ menjadi berkurang, dan efeknya nilai tukar Rp terhadap US$ pun melemah. Sentimen ini begitu kuat mempengaruhi nilai tukar Rp terhadap US$, karena meski cadangan devisa Indonesia masih berada pada rentang waktu yang aman, namun tetap saja pemodal luar ini masih lebih memilih USA dibanding negara lainnya (dengan berbagai pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, dan politik tentunya).
Bagi industri pengolahan di Indonesia yang sebagian besar bahan bakunya masih mengandalkan impor, tentu saja menguatnya US$ terhadap Rp membuat kinerja keuangan mengalami tekanan karena biaya produksi meningkat sebab Rp yang dikeluarkan untuk biaya produksi akan bertambah.
Sedangkan di sisi lain pemasukan yang diterima oleh produsen nilainya masih tetap sama karena mereka jualan produknya dalam bentuk Rp. Konsekuensi moderat yang diambil adalah melakukan efisiensi biaya produksi, namun jika kondisi Rp makin melemah dan mengancam kelangsungan kegiatan usaha, maka pilihan sulit pun mesti diambil, yaitu menaikan harga jual.
Apabila daya beli konsumen masih kuat, harga jual naik tidak akan jadi masalah, konsumen tetap akan membelinya. Namun jika penguatan US$ itu belum dibarengi dengan peningkatan pendapatan konsumen, maka akibatnya daya beli konsumen pun ikut menurun.
Dengan masih besarnya porsi impor, pelemahan Rp jelas memberatkan, karena akan mengakibatkan harga barang di dalam negeri naik, pembayaran angsuran pokok dan bunga hutang pemerintah serta hutang swasta yang berdenominasi US$ memerlukan Rp lebih banyak.
Dalam jangka pendek, solusi yang dapat diambil adalah meningkatkan volume dan nilai ekspor, sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya. Dengan volume dan nilai ekspor meningkat diharapkan US$ yang masuk sebagai devisa pun bertambah, cadangan devisa makin aman dan pada akhirnya akan memperkuat nilai tukar Rp.
Dan untuk solusi jangka panjang, tentu saja harus bisa dibangun industri dalam negeri yang mampu mempoduksi bahan baku dalam skala besar, yang dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan, sehingga industri pengolahan tidak mengalami ketergantungan dengan bahan baku impor.
Gambar : andirerei.com
Bagaimana dengan kinerja ekspor industri pengolahan hasil hutan kayu saat ini? Data sampai dengan kuartal III-2018 nilai ekspor produk olahan berbahan baku kayu mencapai US$9,28 milyar dari target sebesar US$12 milyar. Tahun lalu nilai ekspor kayu olahan mencapai US$10,9 milyar, dan tahun ini diharapkan meningkat sebesar 10% menjadi US$12 milyar.
Devisa yang dihasilkan dari ekspor produk olahan hasil hutan kayu tentu berkontribusi untuk memperbaiki neraca dagang Indonesia, yang pada akhirnya turut serta memperkuat nilai tukar Rp terhadap US$. Meski nilai tukar Rp terhadap US$ kini telah menguat dari Rp15.255/US$ pada bulan Oktober 2018 menjadi Rp14.085/US$, volume ekspor produk olahan berbahan baku hasil hutan kayu harus tetap ditingkatkan.
Sebagian dari tugas kita adalah mewujudkan kondisi terjaminnya ketersediaan bahan baku industri kayu olahan. Salah satunya dengan cara kampanye menanam pohon di lahan-lahan masyarakat. Kayu yang berasal dari lahan tanaman masyarakat ini (sengon, jabon, dan lain-lain) sudah terbukti membuat industri kayu olahan kita menjadi salah satu eksportir terbesar barecore (panel wood) di dunia.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

0 komentar